Monday, September 26, 2005

[Translation] Arah Penelitian Penerjemahan

ARAH PENELITIAN PENERJEMAHAN

Oleh:
M. Rudolf Nababan
Dosen Sasing UNS

Abstrak

Dalam literatur teori penerjemahan istilah penerjemahan dibedakan dari istilah terjemahan. Penerjemahan merujuk pada proses alih pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, sedangkan terjemahan merujuk pada produk atau hasil dari proses alih pesan. Pembedaan tersebut menghasilkan dua arah penelitian penerjemahan, yaitu: penelitian yang berorientasi pada produk dan penelitian yang berorientasi pada proses. Kedua arah penelitian ini mempunyai kekuatan dan kelemahan baik ditinjau dari segi manfaatnya maupun metodologinya.


1. Pendahuluan

Setiap aktivitas penerjemahan bertujuan untuk menghasilkan karya terjemahan, dan setiap terjemahan yang dihasilkan dimaksudkan untuk membantu mengatasi kesenjangan komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks bahasa sasaran. Keberhasilan suatu terjemahan dalam menjalankan fungsinya sebagai jembatan komunikasi antara dua pihak yang tidak sebahasa akan sangat tergantung pada kepiwaian penerjemah dalam melalui berbagai tahapan dalam proses penerjemahan.

Untuk membuktikan apakah suatu terjemahan berkualitas ataukah tidak, kajian terhadap tingkat keakuratan pengalihan pesan dalam terjemahan tersebut perlu dilakukan. Karena pembaca teks bahasa sasaran merupakan tujuan akhir dari suatu terjemahan, tanggapan dan keterpahaman mereka terhadap terjemahan juga perlu diteliti. Ada kemungkinan bahwa terjemahan dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca namun isinya menyimpang dari isi teks bahasa sumber. Sebaliknya, ada juga kemungkinan bahwa terjemahan sulit dipahami oleh pembaca meskipun pesannya sama dengan pesan teks bahasa sumber.

Kajian atau evaluasi terhadap kualitas terjemahan baik dari segi tingkat keakuratan penyampaian pesan maupun tingkat keterbacaannya dapat memberikan masukan penting perihal kemampuan penerjemah dalam menjalankan tugasnya. Karena penerjemah merupakan pelaku utama dalam aktivitas penerjemahan, latar belakang pengetahuan, pengalaman dan kemampuannya dalam merealisasikan tahapan-tahapan dalam proses penerjemahan akan sangat mempengaruhi kualitas terjemahannya. Oleh sebab itu, kajian terhadap proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah sangat diperlukan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang fenomena penerjemahan.

Makalah ini membahas secara singkat dua arah penelitian penerjemahan: penelitian yang beorientasi pada produk dan penelitian yang terfokus pada proses penerjemahan. Contoh-contoh penelitian yang diberikan dalam makalah ini belum menyeluruh namun dapat memberikan masukan penting perihal tujuan dan karakteristik data kajiannya.

2. Penelitian yang Berorientasi pada Produk

Penelitian di bidang penerjemahan yang dilakukan di Indonesia pada umumnya berorientasi pada produk. Penelitian yang semacam ini memusatkan kajiannya pada tingkat keakuratan pengalihan pesan dan tingkat keterbacaan teks terjemahan. Unit terjemahan yang dikaji beragam, mulai dari tataran kata hingga tataran teks.

Pada tataran kata, misalnya, Evandri (1999) mengkaji ragam makna preposisi bahasa Inggris ( at, for, from, in, of, on, to, under, with) dan cara preposisi-preposisi tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dia menemukan bahwa konteks penggunaan preposisi-preposisi itu sangat menentukan maknanya dan cara preposisi-preposisi tersebut diterjemahkan secara tepat. Dalam penelitian lainnya, Wismawati (2000) mengkaji terjemahan kata ganti penghubung bahasa Inggris yang digunakan dalam klausa adjektif. Penelitiannya mengungkapkan bahwa terjemahan kata ganti penghubung memerlukan beberapa perubahan bentuk kata kerja (misalnya dari kata kerja aktif ke kata kerja pasif) dan perubahan fungsi anteseden (misalnya, dari objek ke subjek) agar sesuai dengan tata bahasa Indonesia.

Pada tataran frasa, Sujiani (1988) mengkaji tingkat keakuratan terjemahan frasa kerja bahasa Inggris yang mengandung leksem go, give, dan take. Dia menemukan bahwa sebagian besar data yang dikajinya diterjemahkan dengan tidak akurat ke dalam bahasa Indonesia.

Pada tataran kalimat, Nababan (1989) menganalisa tingkat keakuratan terjemahan beragam tipe kalimat bahasa Inggris untuk menentukan mutu terjemahan buku teks tentang metode penelitian. Dia menemukan bahwa sebagian besar kalimat bahasa Inggris dalam penelitiannya itu diterjemahkan dengan tidak akurat ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mardini (2000) untuk mengevaluasi mutu terjemahan kalimat bahasa Inggris yang terdapat dalam ringkasan cerita film. Dia menemukan bahwa 52 dari 112 kalimat bahasa Inggris dalam penelitiannya itu diterjemahkan dengan tidak akurat ke dalam bahasa Indonesia.

Pada tataran teks, Suryawinata (1982) mengevaluasi tingkat keterbacaan terjemahan karya sastra. Dia menemukan bahwa tingkat keterbacaan teks tejemahan berada di atas tingkat keterpahaman pembaca bahasa sasaran.

Selain penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, ada penelitian tentang hubungan antara latar belakang dan kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan. Soemarno (1989), misalnya, mengkaji hubungan antara jenis kelamin, ketrampilan berbahasa Inggris, dan latar belakang belakang mahasiswa di bidang teori dan praktek penerjemahan, dan kemampuan mereka dalam menerjemahkan kalimat-kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara hubungan jenis kelamin dan kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan. Namun dia menemukan bahwa ketrampilan berbahasa Inggris dan latar belakang mahasiswa di bidang penerjemahan sangat mempengaruhi mutu terjemahan mereka.

Penelitian-penelitian yang berorientasi pada produk juga dilakukan di bererapa negara. Kemppinen (1988), misalnya, meneliti beberapa terjemahan fiksi romantis populer yang diterbitkan oleh Harlequin. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifiksikan penyederhanaan bahasa dan penghilangan informasi yang dilakukan penerjemah atas permintaan klien, yang mempengaruhi mutu terjemahan dan untuk mengetahui apakah pendapat klien tentang keberterimaan bertentangan dengan pendapat pembaca. Kempinen menemukan bahwa penyederhanaan bahasa yang dilakukan oleh penerjemah terjadi pada tataran kalimat dan klausa. Di samping itu, dia menemukan bahwa penerjemah secara sengaja menghilangkan beberapa informasi yang mengaburkan jalannya cerita dalam novel tersebut. Dia juga menemukan bahwa klien dan pembaca teks bahasa sasaran mempunyai pandangan yang saling bertentangan perihal keberterimaan terjemahan novel.

Seperti yang telah diuraikan di atas, unit-unit terjemahan yang dikaji dalam penelitian yang berorientasi pada produk beragam, mulai dari tataran kata hingga tataran teks. Tujuan-tujuan penelitian tersebut juga beragam. Beberapa dari tujuan penelitian-penelitian tersebut terkait dengan tingkat keakuratan dan keterbacaan terjemahan, sedangkan yang lainnya terfokus pada cara kata atau ungkapan tertentu diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Penelitian-penelitian yang seperti ini dapat memberikan informasi penting perihal apakah suatu terjemahan berkualitas ataukah tidak, dan membantu penerbit dalam memutuskan apakah suatu terjemahan perlu direvisi pada penerbitan selanjutnya. Di samping itu, penelitian-penelitian yang berorientasi pada produk, yang mengkaji aspek keterbacaan terjemahan, dapat menyediakan masukan yang sangat penting tentang harapan dan keinginan pembaca teks bahasa sasaran. Kekuatan lainnya dari penelitian yang berorientasi pada produk ialah bahwa pada umumnya penelitian-penelitian tersebut pada umumnya memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan tertentu. Dari segi pelatihan dan pengajaran penerjemahan, temuan-temuan dari penelitian yang berorientasi pada produk dapat memberikan masukan penting bagi pengajar, khususnya yang berkaitan strategi pemecahan masalah yang kerap kali timbul dalam praktek menerjemahkan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa penelitian yang berorientasi pada produk mempunyai kelemahan. Meskipun, para peneliti yang memfokuskan kajiannya pada produk penerjemahan juga dapat mengkaji proses penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah, temuan-temuan mereka pada umumnya hanya didasarkan pada interpretasi mereka terhadap produk tersebut. Interpretasi yang seperti itu cenderung spekulatif dan oleh karena itu tidak memberikan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang penerjemahan sebagai suatu proses pembuatan keputusan dalam usaha penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang akurat dan dapat dipahami dengan mudah. Kussmaul (1995) memandang bahwa proses penerjemahan yang dilakukan penerjemah mempunyai pengaruh pada mutu terjemahan.

If the translations are unsatisfactory, then one may with some justification expect that the processes leading up to them are problematic too. If the translations are of high quality, the subjects will most likely have used appropriate strategies (1995: 8).

3. Penelitian yang Berorientasi pada Proses

Penerjemahan sebagai proses telah dikaji dalam beberapa penelitian. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh House and Blum-Kulka (1986), Gerloff (1988; 1986), Krings (1986), Kiraly (1990) dan Ritta (1989) mengandalkan teknik Think-Aloud Protocol (TAP) sebagai metode untuk mengumpulkan data. Kovacic (2000) menggabungkan teknik TAP dengan wawancara dan analisis teks. Ruuskanen (1996) memanfaatkan kuesioner dan wawancara untuk mengumpulkan data penelitiannya.

Untuk memperoleh data tentang proses kognitif penerjemah, teknik TAP meminta subjek penelitian mengungkapkan apa yang mereka pikirkan pada saat mereka menerjemahkan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Informasi tersebut kemudian direkam dan dianalisis untuk mengidentifikasikan strategi pembuatan keputusan dan strategi pemecahan masalah, yang dinyakini oleh para peneliti sebagai perwujudan dari proses kognitif penerjemah.

Dalam suatu studi kasus yang melibatkan 9 penerjemah pemula dan 9 penerjemah profesional, Kiraly (1995) menemukan bahwa para penerjemah menggunakan strategi-strategi yang sama, seperti yang telah dilaporkan oleh penelitian sebelumnya tentang proses kognitif. Pertama, para penerjemah membaca keseluruhan teks seperti yang diinstruksikan oleh peneliti. Kemudian, mereka memberikan komentar-komentar perihal fungsi teks dan pembaca terjemahan. Ketiga, mereka mulai menerjemahkan teks bahasa sumber kalimat demi kalimat. Pada tahapan ini, mereka menerapkan strategi pembuatan keputusan dan strategi pemecahan masalah untuk menetapkan apakah suatu ungkapan, misalnya, harus diterjemahkan secara harfiah ataukah secara bebas, dan apakah kamus ekabahasa ataukah kamus dwibahasa diperlukan untuk memecahkan masalah makna yang mereka hadapi.

Tidak seperti studi-studi eksperimental di atas, Ruuskanen (1996) menggunakan kuesioner dan wawancara untuk mengumpulkan data penelitiannya tentang proses penerjemahan yang dilakukan oleh ratusan penerjemah profesional. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada umumnya para penerjemah profesional telah mendapat gambaran tentang pembaca teks terjemahan melalui pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada klien sebelum mereka menerima tugas penerjemahan.

Nababan (2003) memusatkan kajiannya pada proses, praktek dan produk penerjemahan oleh penerjemah profesional Indonesia. Berbeda dari studi protokol, penelitian Nababan mengkaji data yang diperoleh dari kuesioner, wawancara dan tugas penerjemahan. Di samping itu, data yang dikajinya juga termasuk perilaku fisik penerjemah yang diperoleh melalui rekaman video.

Penelitian eksperimental telah memperluas pengetahuan kita tentang beberapa aspek dari proses mental penerjemah. Kiraly (1997) mengatakan: They have peeled away the outer shell of what has long been considered the translator’s black box (h. 151). Kekuatan teknik TAP pada umumnya terletak pada kemampuannya untuk menyediakan informasi verbal bagi para peneliti, sebagai indikator strategi dari proses kognitif penerjemah.

Penelitian protokol dapat memberi kita informasi yang bermanfaat tentang fenomena proses penerjemahan. Akan tetapi, penelitian yang menggunakan teknik TAP tersebut mempunyai beberapa kelemahan. Subjek penelitian pada umumnya adalah pembelajar bahasa asing dimana penerjemahan bagi mereka hanyalah bagian dari kurikulum pembelajaran bahasa asing (Kuusmaul, 1995:7). Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Gerloff (1988) Kiraly (1990) mengkaji perilaku semi profesional dan profesional, temuan-temuan mereka belum mencerminkan kondisi penerjemahan yang sesungguhnya. Situasi penerjemahan pada saat eksperimen dilakukan, misalnya, diciptakan dan dikendalikan sepenuhnya oleh peneliti. TAP itu sendiri mengubah kondisi dan sifat tugas penerjemahan. Di samping itu, penelitian-penelitian tersebut pada umumnya tidak mengkaitkan strategi pembuatan keputusan dengan terjemahan yang dihasilkan (Kussmaul, 1995: 8). Penelitian yang dilakukan Ruuskanen (1996) memang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat tentang cara kerja penerjemah profesional. Namun, penelitiannya belum menyediakan pembahasan yang menyeluruh tentang latar belakang penerjemah, pemerolehan dan perkembangan pengalaman dan kompetensi penerjemah, pendekatan penerjemahan, dan kriteria yang digunakan dalam mengevaluasi mutu terjemahan. Selain itu, penelitian Ruuskanen juga tidak mengkaji alasan-alasan yang mendorong penerjemah untuk menggunakan pendekatan penerjemahan tertentu dan kriteria dalam mengevaluasi terjemahan. Perlu dicatat, ada kemungkinan bahwa hal-hal yang diutarakan penerjemah di dalam kuesioner dan wawancara tidak sesuai dengan hal-hal yang mereka lakukan dalam praktek penerjemahan.

Daftar Pustaka

Evandri, W. 1999. “An analysis of translation variety of simple preposition meanings in the novel entitled The Pelican Brief”. Unpublished Thesis, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Gerloff, P. 1986. “Second language learner’s reports on the interpretive process: Talk-aloud protocols of translation”. In House, J. and Blum-Kulka, S. (eds.). Interlingual and Intercultural Communication: Discourse and Cognition in Translation. Tubingen: Narr, 245-262.

Gerloff, P. 1988. “From French to English: A look at the translation process in students, bilinguals, and professionals”. Unpublished Dissertation. Mimeo. Harvard University.

Kempinen, A. 1988. “Translating for popular literature with special reference to Harlequin books and their Finnish translations”. A Pro Gradu Thesis. Savonlinna: University of Joensuu, Savonlinna School of Translation Studies.

Kiraly, D.C. 1990. Toward a Systematic Approach to Translation Instruction. An Arbor: U.M.I.

Kiraly, D.C. 1995. Pathways to Translation: Process and Pedagogy. Kent, OH: Kent State University Press.

Kiraly, D.C. 1997. “Think-aloud protocol and the construction of a professional translator self-concept”. In Danks et al (eds.). Cognitive Processes in Translation and Interpreting. London: Sage Publications, 137-160.

Kovacic, I. 2000. “Thinking-aloud protocol-interview-text analysis”. In Tirkkonen-Condit, Sonja (ed.). Tapping and Mapping: The Process of Translation and Interpreting: Outlooks on Empirical Research. Amsterdam, Netherlands: Benjamins.

Krings, H.P. 1986. “Translation problems and translation strategies of advanced learners of French (L2)”. In House, J. and Blum-Kulka, S (eds.). Interlingual and Intercultural Communication. Tubingen: Narr, 267-276.

Kussmaul, P. 1995. Training the Translator. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Mardini, D. 2000. “An analysis on the translation of synopses of movie highlights published in the TV Guide Magazine”. Unpublished Thesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Nababan, M. 1989. “Analisis terjemahan buku Research Methods and Analysis: Searching for Relationship karya Michael H. Walizer dan Paul, W. Wienir ke dalam bahasa Indonesia oleh Sadiman dan Hutagaol”. Unpublished Thesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Nababan, M. 2003. “Translation processes, practices, and products of professional Indonesian Translators”. Unpublished Dissertation. Wellington, New Zealand: Victoria University of Wellington.

Ruuskanen, D.D.K. 1996. “Creating the ‘Other’: A pragmatic translation tool”. In Dollerup, Cay, Appel, and Vibeke (eds.). Teaching Translation and Interpreting 3 :New Horizons. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Soemarno, T. 1989. “Hubungan antara jenis kelamin, lama di bidang penerjemahan, kemampuan berbahasa Inggris dan kemampuan menerjemahkan”. Unpublished Dissertation. Malang: FPS IKIP Malang.

Sujiani, E. 1988. “An analysis of translation of English verb phrases containing lexemes go, give, and take, in the novel The Mirror Crack written by Agatha Christie into “Dan Cermin Pun Retak”. Unpublished Thesis, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Suryawinata, Z. 1982. “Analisis dan evaluasi terhadap terjemahan novel sastra The Adventure of Huckleberry Finn dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Unpublished Dissertation. Malang: FPS IKIP Malang

Toury, G. 1980. In Search of a Theory of Translation. Jerusalem: The Porter Institute for Poetics and Semiotics.

Wismawati. 2000. “An analysis of the translation of relative pronoun in Sydney Seldon’s The Naked Faced translated by Anton Adiwiyoto into Wajah Sang Pembunuh”. Unpublished Thesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

v Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan Program Pasca Sarjana Jurusan Linguistik Minat Utama Penerjemahan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis lulus S1 Jurusan Linguistik, UNS (1989), Master of Education, University of Houston, USA (1996), Master of Arts in Applied Linguistics, Victoria University of Wellington, New Zealand (2000), dan Doctor of Philosophy in Applied Linguistics, Victoria University of Wellington, New Zealand (2003).

v Makalah ini disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan di Tawangmangu, Surakarta, 15-16 September 2003.

No comments: