Monday, November 16, 2009

Sunday, November 15, 2009

Lestari, Alumni Pertanian UNS, Bisnis Jamur




Agak melenceng dari sastra, kali ada ada info alumni pertanian UNS, masuk Kompas, bisnis jamur. Judulnya, Lestari dan Prospektif Budidaya Jamur

Setahun terakhir, budidaya jamur menjadi idola bagi sebagian besar kalangan petani di Bantul, DI Yogyakarta. Banyak yang tergiur untuk mencobanya. Tak hanya soal harga jual yang lumayan, tetapi juga jaminan pasar, terutama sejak tren kuliner jamur mewabah di Yogyakarta. Lestari (45), sarjana pertanian lulusan Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, termasuk salah satu yang mencobanya. Ia memutuskan pindah ke rumahnya di Dusun Klangon, Argosari, Sedayu, Bantul, setelah sebelumnya bekerja di perusahaan milik Korea.

”Saya banyak mendengar informasi soal budidaya jamur yang sedang jadi tren. Kebetulan di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), saya juga bekerja untuk mengolah jamur. Saya tergiur untuk kembali ke Bantul menjadi petani mandiri,” katanya awal Oktober lalu.

Di rumahnya, Lestari lebih banyak fokus pada usaha pembenihan dan pembuatan media. Ia menjual kantong-kantong media yang sudah dibubuhi benih sehingga jamurnya siap tumbuh. Kantong-kantong itu biasanya sudah diambil oleh para pelanggannya secara rutin.

Dalam sehari ia bersama lima orang tenaga kerja mampu membuat 400-500 kantong media jamur. Tiap kantong dijual seharga Rp 1.500. Untuk membuat media, digunakan serbuk gergaji yang dicampur bekatul dan gamping. Setiap 100 kg serbuk gergaji ditambahkan sekitar 15 persen bekatul dan 3 persen gamping.

Setelah diaduk campuran tersebut ditutup dengan terpal dan dibiarkan selama dua malam. Tujuannya supaya terjadi fermentasi. Proses selanjutnya adalah pengantongan ke dalam plastik tahan panas, baru kemudian disterilisasi dengan metode penguapan di suhu 95-100 derajat celsius agar bakteri-bakteri yang tidak berguna mati. Setelah dingin, media diberi bibit jamur.

Tidak semua kantong yang disterilisasi ”berhasil”. Kantong-kantong yang plastiknya kurang rapat biasanya akan rusak dan tidak bisa dibubuhi bibit jamur. Namun, tingkat kegagalannya sangat kecil.

Sekitar delapan minggu kemudian jamur baru akan tumbuh. Setiap kantong media bisa menghasilkan 0,5 kg jamur. Harga jual untuk jamur tiram Rp 8.500/kg, sementara jamur kuping Rp 8.000/kg.

”Saat ini masih banyak yang membeli media yang sudah siap karena mereka tidak mau ribet. Padahal, saya juga menjual bibit seharga Rp 3.500/botol yang bisa digunakan untuk 20 kantong. Petani bisa membuat media sendiri, supaya biaya produksinya lebih murah,” kata Lestari.

Menurut Lestari, pemasaran untuk jamur tiram dan jamur kuping masih sangat terbuka. Ia bahkan sering kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Ada delapan dusun yang mengandalkan bibit dan media darinya, yakni Dusun Klangon, Jambon, Kalijoho, dan Dusun Tonalan.

Untuk jamur tiram, pasarnya lebih banyak ke lokal DIY karena jenis jamur ini mudah rusak dan tidak tahan lama. Untuk pasar luar daerah lebih prospektif mengembangkan jamur kuping karena sifatnya kebalikan dari jamur tiram.

”Jamur kuping banyak saya kirim ke Bandung dan beberapa kota di Jawa Timur,” ujarnya.

Dengan produksi 500 kantong per hari seharga Rp 1.500/kg, omzetnya mencapai Rp 750.000/hari atau Rp 22,5 juta per bulan. Dari budidaya itu ia mengantongi keuntungan sekitar Rp 7,5 juta per bulan.

Bila saja alat sterilisasi yang dimilikinya memiliki kapasitas lebih tinggi, pasti produksinya bisa ditingkatkan lagi. Kapasitas alat sterilisasi miliknya hanya 1.500 kantong. Alat tersebut tidak bisa digunakan setiap hari karena harus menunggu sampai dingin kembali. Dalam seminggu paling hanya bisa tiga kali sterilisasi.

”Itu sudah mendingan, sebelumnya saya hanya pakai alat sederhana berkapasitas 100 kantong. Setelah mendapat bantuan pinjaman senilai Rp 20 juta dari pemerintah daerah, saya langsung menggunakannya untuk membeli alat sterilisasi yang lebih besar,” tuturnya.

Selain memproduksi media yang sudah siap, Lestari juga membudidayakan langsung jamur tiram dan kuping. Ia membangun dua buah kubung (rumah untuk jamur) di rumahnya masing-masing seluas 4 x 8 meter.

Jamur-jamur itu diolahnya menjadi keripik. Untuk keripik jamur tiram dijual seharga Rp 45.000/kg, sedangkan keripik jamur kuping Rp 50.000/kg.

”Keuntungan berjualan keripik lumayan menjanjikan. Apalagi rasa keripiknya sangat khas sehingga banyak diminati konsumen meski harganya sedikit mahal dibandingkan dengan keripik lain,” ujar perempuan yang berhasil menyabet juara III kategori tokoh hortikultura dari Sultan Hamengku Buwono X.

Keberhasilan Lestari membudidayakan jamur juga menjadi acuan bagi kalangan mahasiswa pertanian. Saat Kompas berkunjung ke rumahnya, beberapa mahasiswa pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang melakukan penelitian soal jamur dan budidayanya.

Menurut dia, budidaya jamur sangat mudah. Musim hujan menjadi saat yang paling tepat untuk mengembangkan jamur. Musim hujan membuat pertumbuhan jamur tiram lebih maksimal karena cuacanya cenderung lembab.

Lebih lanjut ia menjelaskan, tren masyarakat yang semakin mengarah pada budaya konsumsi sehat juga membuat pemasaran jamur tidak terkendala. Jamur termasuk sayuran yang memiliki protein tinggi dan tidak mengandung kolesterol.

Berbagai variasi masakan pun dibuat untuk menggugah selera, yakni sup jamur, sate jamur, tongseng jamur, hingga pepes jamur. Jadi, budidaya jamu sangat prospektif.

Sumber: Kompas, Sabtu, 14 November 2009, Eny Prihtiyani