Monday, March 29, 2010

Semangat Menulis Rosihan Anwar


Saya pribadi sangat suka tulisan Rosihan Anwar di koran. Biasanya Beliau menulis tentang tokoh yang meninggal. Obituari. Tulisannya sangat enak dibaca, karena Beliau merupakan pelaku sejarah juga. Dibumbui pengalaman pribadi bersama tokoh yang ditulis dalam obituari, membuat tulisan menjadi hidup, aktual, dan khas. Inilah yang merupakan nilai plus tulisan Beliau.

Berikut ini liputan Kompas tentang semangat menulis Rosihan Anwar.
Sebagai wartawan, tulisan-tulisan Rosihan Anwar tersebar di berbagai media. Usia 87 tahun tidak mampu menyurutkan semangatnya untuk menulis. Dia tetap aktif berkegiatan, meliput, menulis buku, menghadiri berbagai diskusi dan bedah buku, serta mendatangi banyak undangan.

Namun, usia pula yang membuat fisik Rosihan tak lagi sekuat dulu. Belakangan ini dia mulai sakit-sakitan. Terkadang tekanan darahnya naik dan ini membuat dia merasa kliyengan. Pada lain waktu, dia merasa napasnya sesak. Tetapi, meski mulai kerap merasa sakit, hal itu tak menghambat produktivitasnya.

Akhir tahun lalu, dia pergi ke Eropa. Rosihan meliput sampai ke Belanda. Kegiatan ini membakar semangatnya. Ia pergi ditemani putrinya, dr Naila Karima Anwar, menantunya dr Robby, serta sejarawan Rusdi Husein yang juga dokter.

”Desember 2009, saya diundang Radio Netherland Wereldomroep. Selama 10 hari saya di Belanda. Sebelum berangkat saya check up. Dokter paru-paru mengizinkan saya pergi, tapi dokter jantung melarang karena tekanan darah saya tinggi. Seminggu kemudian saya check up lagi, tekanan darah saya normal, maka berangkatlah....”

Di Belanda, ia mengenang kembali masa liputan 60 tahun lalu ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung 23 Agustus-2 November 1949. KMB itu membahas penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Negara Federal Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949. Rosihan pun menyempatkan diri ke Paris untuk bernostalgia.

Sepulang dari Belanda dan Perancis, banyak tulisan ia hasilkan. ”Saya harus tetap mencari uang. Meski memang anak dan cucu saya memberi uang kepada Ibu Rosihan, tetapi saya tetap harus bertanggung jawab. Ini agar dapur ngebul,” ujarnya.

Ia menulis untuk harian Kompas sebanyak 16 halaman kertas kuarto tik dua spasi. Ia menulis artikel itu selama dua hari.

”(Hasil liputan itu) di Suara Pembaruan dimuat empat kali, Pikiran Rakyat dimuat tujuh kali, dan Rakyat Merdeka dimuat 10 kali. Untuk artikel di satu surat kabar itu, saya menulisnya masing-masing dua hari. Semua saya tik dengan mesin tik karena saya ini gaptek (gagap teknologi) ha-ha-ha,” ujar Rosihan.

Rencananya, semua tulisan hasil liputan Rosihan selama di Eropa itu akan dibukukan Penerbit Kompas. Buku itu akan diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke-88 tanggal 10 Mei 2010.

Ingatan kuat

Selain semangat menulisnya yang tak menyurut, hal istimewa lain dari Rosihan adalah ingatannya yang kuat. Tentang ingatan itu, katanya, ”Saya sebenarnya enggak bisa menghafal nama-nama orang Jawa yang panjang-panjang. Kalau ingatan saya dinilai kuat, itu karena my mind is busy! Setiap hari saya sibuk berpikir, apa yang mau saya tulis hari ini?”

Sekarang ia sedang memikirkan rencana buku ”Sejarah Kecil—Petite Histoire Indonesia” jilid keempat. Ia akan menulis tentang drama keluarga dalam buku tersebut.

Rosihan lalu bercerita tentang keterkaitan mesin tik dengan kelancaran ide menulisnya.

”Kalau mendengar bunyi tik... tik... tik... pikiran saya jalan. Saya punya laptop juga, tapi kalau ngetik enggak keluar bunyinya dan saya harus mengecek di layar komputer, itu mengganggu saya. Ini membuat ide dalam kepala saya buyar. Lalu saya berikan laptop saya untuk cucu,” katanya.

Agar dapat terus beraktivitas, Rosihan menyadari kesehatan memegang peran penting. Karena itu, ia rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sekali dalam setahun.

”Dua anak saya (berprofesi) dokter. Mereka yang mendorong saya untuk memeriksa kesehatan secara rutin,” ujarnya.

”Selain menjaga kesehatan, saya terus berpikir bagaimana tetap mendapatkan penghasilan. Apalagi, sekarang saya sering sakit dan perlu uang yang tidak sedikit untuk menjaga kesehatan. Untuk sekali CT-Scan, misalnya, sudah menghabiskan Rp 4,5 juta. Belum lagi Ibu Rosihan (istrinya), setahun ini sakit osteoporosis,” ujarnya.

Tentang menjaga kesehatan, Rosihan berpendapat, pikiran yang tenang berkontribusi pada kondisi fisik seseorang. Karena itulah dia selalu memilih bahan bacaannya. Ia menyukai buku-buku sejarah, membaca koran terutama pada judul beritanya, sedangkan tulisan para pakar ia lewati agar tak membebani pikiran.

”Saya sudah tahu mereka (pakar) menulis apa, mau bercerita tentang apa. Saya lebih suka menonton televisi, siaran luar negeri, seperti BBC, CNN, dan Fox, itu bisa memenuhi rasa ingin tahu saya. Informasi itu membuat saya tak ketinggalan zaman,” katanya.

Rosihan juga rajin berolahraga. Setiap hari, seusai shalat Subuh, dia berjalan kaki di kawasan sekitar rumahnya.

”Saya berjalan kaki sambil berzikir, 45 menit cukuplah. Saya sudah berkeringat. Biarpun hujan, saya tetap jalan kaki dengan memakai payung. Kata dokter, jalan kaki itu bagus untuk metabolisme tubuh dan pengaturan napas,” katanya.

Pola makan pun dia jaga. ”Makan itu jangan berlebih, jangan sampai kekenyangan. Saya banyak makan sayur, buah, dan ikan,” kata Rosihan.

Bersyukur

Produktivitas dan semangat menulis yang ditunjukkan Rosihan mempunyai sejarah panjang. Dia menjadi penulis lepas untuk berbagai media setelah surat kabar yang ia dirikan, Pedoman, diberedel.

Pemberedelan Pedoman yang sampai tiga kali pun tak menghentikan semangatnya menulis. Pedoman pertama kali diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama (Soekarno) pada 7 Januari 1961, dan terakhir diberedel oleh Pemerintah Orde Baru (Soeharto) tanggal 18 Januari 1974.

”Saya habis... bis! Oplah Pedoman saat diberedel tahun 1961 itu 42.000. Waktu diberedel tahun 1974, oplahnya 45.000,” cerita Rosihan yang menerima penghargaan Bintang Mahaputra III.

Sejak tak ada lagi Pedoman, Rosihan lalu menjadi penulis lepas. Ia tak hanya menulis untuk media dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti majalah Asia Week, Hongkong; The Straits Times, Singapura; New Straits Times, Kuala Lumpur; The Hindustan Times, New Delhi; Het Vriye Volk, yang diterbitkan di Belanda; dan The Melbourne Age, Australia.

”Teman-teman memberi saya kesempatan menulis. Tetapi, saat umur mencapai 60, saya tak boleh lagi menulis. Ada aturan di luar negeri, orang berusia 60 dianggap tak bisa menulis. Padahal, saya belum pikun ha-ha- ha,” kata Rosihan, yang pada Hari Pers Nasional di Palembang, Februari lalu, mendapat penghargaan Spirit Jurnalisme dan hadiah uang Rp 25 juta.

Ia menjalani hidup dengan bersyukur. Ia mengingat pesan dalam satu episode Oprah Winfrey Show: paling penting dalam hidup adalah jujur pada diri sendiri, bersyukur setiap hari, mengubah hidup (berjuang), menolong orang lain, dan berpikir positif. (by Elok Dyah Messwati, kompas)



ROSIHAN ANWAR

• Lahir: Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922

• Istri: Siti Zuraida (86)

• Anak:
- dr Aida Fathya Anwar (60)
- Omar Luthfi Anwar (58)
- dr Naila Karima Anwar (56)
- Cucu 6 orang dan Cicit 2 orang

• Pendidikan:
- Hollandsch Inlandsche School (HIS), Padang, Sumatera Barat, 1935
- Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang, 1939
- Algemeene Middlebare School (AMS) Bagian A II, Yogyakarta, 1942

• Pekerjaan antara lain:
- Pemred ”Pedoman”, 1948-1961 dan 1968-1974
- Pengajar dan Penatar Jurnalistik, 1970-an
- Wartawan koran ”Merdeka”, 1945-1946 - Pendiri/pemimpin majalah mingguan ”Siasat”, 1947-1957
- Pemred majalah bulanan ”Citra Film”, 1981-1982

• Penghargaan, antara lain:
- Bintang Mahaputera Utama III, 1973
- Pena Emas PWI Pusat, 1979
- Third ASEAN Awards in Communication, 1993
- Bintang Aljazair, 2005
- Penghargaan Spirit Jurnalisme-HPN, Februari 2010