Thursday, February 11, 2010

Viktor Yanukovich, Anak Nakal Jadi Presiden


Viktor sering diplesetkan menjadi Pikiran Kotor. Tapi kali ini Anak bernama Viktor yang terkenal nakal, sekarang menjadi presiden. It's Great!

Ketika pengadilan Ukraina membatalkan sejumlah besar perolehan suara Viktor Yanukovich pada pemilihan umum 2004 karena dianggap sebagai hasil kecurangan, dunia mencatat Revolusi Oranye yang dikumandangkan di Ukraina berhasil menggeser orientasi negara bekas bagian Uni Soviet itu menuju pro-Barat.

Akan tetapi, lima tahun setelah revolusi tersebut, target Ukraina untuk menjadi anggota Uni Eropa tidak juga tercapai. Bahkan, lebih buruk dari itu, pemerintahan pro-Barat Presiden Viktor Yushchenko dan Perdana Menteri Yulia Tymoshenko tidak mampu membawa warga Ukraina keluar dari derita ekonomi. Pada 2009, ekonomi Ukraina menyusut sekitar 15 persen dengan tingkat inflasi mencapai 16,4 persen akibat imbas krisis ekonomi global.

Fakta selama lima tahun pemerintahan pro-Barat juga menunjukkan, Ukraina tetap mempunyai ketergantungan tinggi terhadap Rusia, baik dalam hal ekspor maupun impor, terlebih lagi kebutuhan bahan bakar dan gas. Meskipun Yushchenko pro-Barat, pada kenyataannya negara-negara Barat pun tidak mudah menerima sebuah negara baru menjadi bagian dari ”keluarga” mereka.

Dalam kondisi seperti itulah sosok Viktor Fyodorovich Yanukovich, yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin oposisi pasca-kekalahan oleh Revolusi Oranye, menjadi pilihan warga Ukraina. Mantan perdana menteri Ukraina yang juga pernah dipenjarakan pada era Soviet itu adalah seorang bapak dua anak yang memiliki kegemaran beternak burung merpati dan bermain tenis.

Yanukovich lahir dari sebuah keluarga kelas pekerja di Donetsk, wilayah penambangan batu bara di Ukraina. Sejak kecil dia berbahasa Rusia dan mendalami teknik-mekanik melalui latihan-latihan dan kuliah jarak jauh dari Institut Politeknik Donetsk.

Masa kecil yang sulit

Yanukovich adalah tipikal anak kelas pekerja yang tidak gampang untuk bisa bersekolah tinggi. Ibunya adalah seorang perawat dari etnis Ukraina, tetapi belum banyak dikenalnya karena meninggal dunia ketika Yanukovich berusia dua tahun.

Ketika tumbuh remaja, dia juga ditinggal ayahnya sehingga Yanukovich kemudian tinggal bersama neneknya. Dia selalu menganggap dirinya seorang Ukraina. ”Masa kecil saya sangat sulit dan sering kelaparan. Saya tumbuh tanpa seorang ibu, yang meninggal ketika saya berusia dua tahun. Saya pergi ke mana-mana bertelanjang kaki. Setiap hari saya berjuang untuk hidup saya,” ujarnya mengenang masa kecilnya.

Pada usia 17 tahun, 15 Desember 1967, Yanukovich dihukum penjara 3 tahun karena terlibat dalam perampokan dan penyerangan ringan. Dia menjalani hukuman di penjara Kremenchuk, tetapi kemudian dibebaskan setelah 7 bulan karena berperilaku baik. Yanukovich juga pernah dipenjara 2 tahun pada 1970 karena pencurian dan kekerasan. Namun, pada 27 Desember 1978, pengadilan wilayah Donetsk menghapus catatan kriminalnya itu. Yanukovich sendiri menyebut kejahatan-kejahatan yang membuat dia diadili itu adalah ”kesalahan-kesalahan masa muda”.

Dia memasuki dunia kerja sebagai manajer transportasi di industri penambangan batu bara. Posisinya itu kemudian mengantar dia menjadi anggota Partai Komunis Uni Soviet. Sejak itulah jalan baginya untuk berkarier politik pun terbuka.

Menyadari berbagai kekurangannya, Yanukovich rajin untuk terus belajar dan menimba ilmu. Hasilnya, pada 2001 dia lulus dari Akademi Perdagangan Luar Negeri, Ukraina, dengan gelar master di bidang hukum internasional. Belakangan dia juga dianugerahi gelar doktor dan kemudian profesor.

”Penjahat politik”

Ketika pemilu tahun 2004 diselenggarakan, Yanukovich, yang ketika itu adalah calon terkuat, secara drastis berbalik posisinya menjadi ”penjahat politik” gara-gara pemimpin Rusia ketika itu, Vladimir Putin, memberikan selamat kepadanya, padahal komisi pemilu Ukraina belum mengumumkan siapa pemenangnya.

Ungkapan selamat dari Rusia itu langsung membuat para pengamat internasional meyakini bahwa dalam pemilu tersebut terjadi kecurangan yang menguntungkan Yanukovich. Apalagi, negara-negara Barat, ketika itu, sangat ingin Ukraina dipimpin tokoh yang lebih pro-Barat ketimbang pro-Rusia. Hasilnya, Yanukovich dinyatakan kalah dalam pemilu yang dimenangi Yushchenko itu.

Sejak itulah Yanukovich, pemimpin partai oposisi yang sangat berpengaruh, Party of Regions (sejak 1997 sampai sekarang), sangat berhati-hati dalam memperlihatkan hubungannya dengan Rusia. Dia menyatakan mendukung sebuah negara Ukraina yang kuat, independen, dan netral. ”Saya telah melakukan segala hal untuk menghentikan kegilaan ini selama lima tahun terakhir. Tujuan apa yang disebut Revolusi Oranye adalah untuk melemahkan Rusia, tetapi tidak menguatkan negara kita,” katanya dalam wawancara televisi baru-baru ini.

Meskipun dikalahkan Yushchenko, Yanukovich tidak pernah dendam terhadap rival politiknya itu. Dia menerima posisi sebagai perdana menteri, mendampingi Yushchenko sebagai presiden pada 4 Agustus 2006, meskipun kemudian dia mundur lagi pada 18 Desember 2007 seiring dengan kekalahan partainya dalam pemilu sela.

Yanukovich menolak keinginan sejumlah pendukung Revolusi Oranye agar Ukraina menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Meskipun demikian, dia juga menyerukan agar Ukraina meningkatkan hubungan dengan Uni Eropa.

”Saya rasa kita harus bersatu memerangi krisis dan kemiskinan. Kemiskinan berat yang diderita jutaan rakyat Ukraina adalah musuh sesungguhnya Ukraina,” ujarnya pada awal 2010, seperti dikutip Al Jazeera.

Yanukovich pun tidak mau lagi mengulangi kesalahan pada 2004. Dia menggunakan konsultan politik AS, Paul Manafort, yang banyak mendukung sukses kandidat Partai Republik untuk memperbaiki citranya sekaligus menyusun strategi kampanye yang jitu. Dia tidak mau lagi menang dengan cara yang curang.

Hasilnya, para pengamat internasional pun memuji pemilu Ukraina 2010 sebagai pemilu yang baik, transparan, dan bersih. Itu adalah legitimasi yang kuat buat Yanukovich meskipun kubu lawannya, Tymoshenko, terus berusaha meniup-niupkan adanya kecurangan yang dilakukan kubu Yanukovich. (Reuters/AP)

Kompas Jumat, 12 Februari 2010 | 03:33 WIB, Rakaryan Sukarjaputra

Sunday, February 07, 2010

Oscar untuk AVATAR


Nominasi Academy Awards ke-82 tidak jauh berbeda dibanding nominasi Golden Globe Awards, yang diumumkan 17 Januari lalu. Film ”Avatar” diduga akan merajai malam penganugerahan Oscar, 7 Maret mendatang.

Film karya sutradara James Cameron itu diunggulkan di sembilan kategori, yakni film, sutradara, sinematografi, tata artistik, penyuntingan, musik film (original score), penyuntingan suara, mixing suara, dan efek visual terbaik. Di ajang Golden Globe Awards, film yang menggunakan teknologi gambar komputer (CGI) tiga dimensi terbaru ini meraih gelar Film Drama Terbaik dan Sutradara Terbaik.

Film karya mantan istri Cameron, Kathryn Bigelow, juga meraih jumlah nominasi yang sama. The Hurt Locker, film karya Bigelow tentang kisah prajurit AS di medan perang Irak, bersaing dengan Avatar di hampir semua kategori yang sama, kecuali di bidang tata artistik dan efek visual.

Sebagai gantinya, pemeran utama The Hurt Locker, Jeremy Renner, masuk dalam unggulan pemeran utama pria terbaik dan skenario film itu, yang ditulis Mark Boal, menjadi salah satu nomine di kategori skenario asli terbaik.

Hal istimewa lain dalam pengumuman nominasi Oscar tahun ini adalah ditambahnya daftar unggulan untuk kategori film terbaik, dari lima film menjadi sepuluh film. Menurut The Wall Street Journal, seperti dikutip kantor berita AP, Rabu (3/2) petang, penambahan jumlah nomine tersebut merupakan usaha untuk menaikkan rating acara siaran langsung penganugerahan Oscar yang akan digelar di Kodak Theatre, Hollywood, AS.

Peluang

Dari sepuluh nomine, baru setengahnya yang sudah diputar di Indonesia, yakni Avatar, The Hurt Locker, District 9, Inglourious Basterds, dan film animasi Up. Sementara lima film unggulan lain, yakni An Education, Precious: Based on the Novel ’Push’ by Sapphire, A Serious Man, Up in The Air, dan The Blind Side, belum bisa dinikmati penonton Indonesia di layar bioskop.

Kemungkinan paling besar meraih gelar film terbaik ada di tangan Avatar. Film ini tidak hanya sukses di pasar (memecahkan rekor Titanic sebagai film terlaris sepanjang masa dengan pendapatan total lebih dari dua miliar dollar AS di seluruh dunia), tetapi juga mendapatkan sambutan positif dari sebagian besar kritikus film.

Para kritikus film dari media berpengaruh di AS, seperti The New York Times, Wall Street Journal, Washington Post, Boston Globe, dan majalah Time, Variety, serta Rolling Stone memuji film ini. ”(Film) ini memperluas berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan oleh sebuah film,” tulis Peter Travers, kritikus film Rolling Stone, yang menyebut jenis film seperti Avatar inilah yang menjadi favorit para anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences, lembaga pemberi Oscar.

Tahun 1997, film Titanic, yang juga digarap secara kolosal dan penuh efek visual komputer oleh James Cameron, menyabet 11 Oscar termasuk gelar Film Terbaik. Tiga tahun kemudian, Gladiator arahan Ridley Scott meraih gelar Film Terbaik dan empat Oscar lainnya. Pada tahun 2003, pemuncak trilogi The Lord of The Rings, The Return of The King, juga mengoleksi 11 Oscar, termasuk gelar sutradara terbaik untuk Peter Jackson.

Unsur lain

Film-film tersebut juga memiliki unsur-unsur lain yang digarap tuntas, mulai dari akting, kedalaman karakter, olah imajinasi, tata artistik, editing, hingga pola rangkaian plot yang logis dan meyakinkan. Avatar memiliki semua itu.

Tidak berarti film-film lain dalam nominasi tahun ini adalah film jelek. Inglourious Basterds menjadi salah satu puncak pencapaian Quentin Tarantino dalam mengeksplorasi tema kekerasan dengan bungkus kisah kekejaman Nazi pada Perang Dunia II. Keberhasilan Tarantino mengarahkan rangkaian dialog-dialog panjang menjadi sebuah adegan puncak teror psikologis membuat dia menjadi saingan berat Cameron di kategori sutradara terbaik.

The Hurt Locker menjadi semacam antitesis Avatar yang dibuat dengan biaya hampir 300 juta dollar AS. Dengan biaya hanya sekitar 11 juta dollar AS (menurut imdb.com), Bigelow yang bekerja dengan sebuah rumah produksi independen berhasil menampilkan realitas perang di Irak yang dihadapi para prajurit angkatan bersenjata AS.

Film Up, duet sutradara Pete Docter dan Bob Peterson, selain menampilkan humor yang orisinal dan teknologi terkini di dunia film animasi, juga menyajikan cerita menyentuh tentang jurang perbedaan antargenerasi.

Sementara District 9 memberi alternatif sudut pandang dan cara penggarapan sebuah film tentang kedatangan alien ke planet Bumi. Melalui film ini, sutradara Neill Blomkamp hendak bicara tentang pluralisme dan toleransi.

Lima film lain, dilihat dari isi sinopsisnya, adalah film-film yang lebih menekankan kekuatan cerita dan akting. Sangat boleh jadi, dari sisi kekuatan cerita dan pesan yang ingin disampaikan, lima film ini lebih kuat dibanding lima film yang sudah masuk Indonesia itu.
Kompas Minggu, 7 Februari 2010 | 02:56 WIB