Blog bagi Alumni, calon Alumni, Dosen pencetak alumni Sastra Inggris, UNS, Solo.
Website: http://sasing.site40.net
Mailing list: alumni_sastra_inggris_uns@yahoogroups.com
Showing posts with label Alumni. Show all posts
Showing posts with label Alumni. Show all posts
Friday, September 07, 2012
Reuni 2012
Reuni 2012 terlaksana tanggal 22 Agustus 2012 di pelataran gedung fakultas sastra, UNS. Berikut ini para peserta reuni yang datang. Yang berhalangan hadir, mudah-mudahan tahun depan bisa terlaksana. Amin.
Friday, July 27, 2012
Reuni 22 Agustus 2012
Sembari pulang kampung, mudik lebaran 2012, Alumni Sasing mengadakan reuni pada tanggal 22 Agustus 2012. Come and see.
Lokasi: lapangan parkir Fakultas Sastra.
Pukul 09.00 - 13.00 WIB
Donas: Minimal Rp 100.000
Thursday, September 02, 2010
Sunday, July 11, 2010
Alumni Dimuat di Kompas
Wednesday, November 25, 2009
Sunday, November 15, 2009
Lestari, Alumni Pertanian UNS, Bisnis Jamur

Agak melenceng dari sastra, kali ada ada info alumni pertanian UNS, masuk Kompas, bisnis jamur. Judulnya, Lestari dan Prospektif Budidaya Jamur
Setahun terakhir, budidaya jamur menjadi idola bagi sebagian besar kalangan petani di Bantul, DI Yogyakarta. Banyak yang tergiur untuk mencobanya. Tak hanya soal harga jual yang lumayan, tetapi juga jaminan pasar, terutama sejak tren kuliner jamur mewabah di Yogyakarta. Lestari (45), sarjana pertanian lulusan Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, termasuk salah satu yang mencobanya. Ia memutuskan pindah ke rumahnya di Dusun Klangon, Argosari, Sedayu, Bantul, setelah sebelumnya bekerja di perusahaan milik Korea.
”Saya banyak mendengar informasi soal budidaya jamur yang sedang jadi tren. Kebetulan di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), saya juga bekerja untuk mengolah jamur. Saya tergiur untuk kembali ke Bantul menjadi petani mandiri,” katanya awal Oktober lalu.
Di rumahnya, Lestari lebih banyak fokus pada usaha pembenihan dan pembuatan media. Ia menjual kantong-kantong media yang sudah dibubuhi benih sehingga jamurnya siap tumbuh. Kantong-kantong itu biasanya sudah diambil oleh para pelanggannya secara rutin.
Dalam sehari ia bersama lima orang tenaga kerja mampu membuat 400-500 kantong media jamur. Tiap kantong dijual seharga Rp 1.500. Untuk membuat media, digunakan serbuk gergaji yang dicampur bekatul dan gamping. Setiap 100 kg serbuk gergaji ditambahkan sekitar 15 persen bekatul dan 3 persen gamping.
Setelah diaduk campuran tersebut ditutup dengan terpal dan dibiarkan selama dua malam. Tujuannya supaya terjadi fermentasi. Proses selanjutnya adalah pengantongan ke dalam plastik tahan panas, baru kemudian disterilisasi dengan metode penguapan di suhu 95-100 derajat celsius agar bakteri-bakteri yang tidak berguna mati. Setelah dingin, media diberi bibit jamur.
Tidak semua kantong yang disterilisasi ”berhasil”. Kantong-kantong yang plastiknya kurang rapat biasanya akan rusak dan tidak bisa dibubuhi bibit jamur. Namun, tingkat kegagalannya sangat kecil.
Sekitar delapan minggu kemudian jamur baru akan tumbuh. Setiap kantong media bisa menghasilkan 0,5 kg jamur. Harga jual untuk jamur tiram Rp 8.500/kg, sementara jamur kuping Rp 8.000/kg.
”Saat ini masih banyak yang membeli media yang sudah siap karena mereka tidak mau ribet. Padahal, saya juga menjual bibit seharga Rp 3.500/botol yang bisa digunakan untuk 20 kantong. Petani bisa membuat media sendiri, supaya biaya produksinya lebih murah,” kata Lestari.
Menurut Lestari, pemasaran untuk jamur tiram dan jamur kuping masih sangat terbuka. Ia bahkan sering kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Ada delapan dusun yang mengandalkan bibit dan media darinya, yakni Dusun Klangon, Jambon, Kalijoho, dan Dusun Tonalan.
Untuk jamur tiram, pasarnya lebih banyak ke lokal DIY karena jenis jamur ini mudah rusak dan tidak tahan lama. Untuk pasar luar daerah lebih prospektif mengembangkan jamur kuping karena sifatnya kebalikan dari jamur tiram.
”Jamur kuping banyak saya kirim ke Bandung dan beberapa kota di Jawa Timur,” ujarnya.
Dengan produksi 500 kantong per hari seharga Rp 1.500/kg, omzetnya mencapai Rp 750.000/hari atau Rp 22,5 juta per bulan. Dari budidaya itu ia mengantongi keuntungan sekitar Rp 7,5 juta per bulan.
Bila saja alat sterilisasi yang dimilikinya memiliki kapasitas lebih tinggi, pasti produksinya bisa ditingkatkan lagi. Kapasitas alat sterilisasi miliknya hanya 1.500 kantong. Alat tersebut tidak bisa digunakan setiap hari karena harus menunggu sampai dingin kembali. Dalam seminggu paling hanya bisa tiga kali sterilisasi.
”Itu sudah mendingan, sebelumnya saya hanya pakai alat sederhana berkapasitas 100 kantong. Setelah mendapat bantuan pinjaman senilai Rp 20 juta dari pemerintah daerah, saya langsung menggunakannya untuk membeli alat sterilisasi yang lebih besar,” tuturnya.
Selain memproduksi media yang sudah siap, Lestari juga membudidayakan langsung jamur tiram dan kuping. Ia membangun dua buah kubung (rumah untuk jamur) di rumahnya masing-masing seluas 4 x 8 meter.
Jamur-jamur itu diolahnya menjadi keripik. Untuk keripik jamur tiram dijual seharga Rp 45.000/kg, sedangkan keripik jamur kuping Rp 50.000/kg.
”Keuntungan berjualan keripik lumayan menjanjikan. Apalagi rasa keripiknya sangat khas sehingga banyak diminati konsumen meski harganya sedikit mahal dibandingkan dengan keripik lain,” ujar perempuan yang berhasil menyabet juara III kategori tokoh hortikultura dari Sultan Hamengku Buwono X.
Keberhasilan Lestari membudidayakan jamur juga menjadi acuan bagi kalangan mahasiswa pertanian. Saat Kompas berkunjung ke rumahnya, beberapa mahasiswa pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang melakukan penelitian soal jamur dan budidayanya.
Menurut dia, budidaya jamur sangat mudah. Musim hujan menjadi saat yang paling tepat untuk mengembangkan jamur. Musim hujan membuat pertumbuhan jamur tiram lebih maksimal karena cuacanya cenderung lembab.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tren masyarakat yang semakin mengarah pada budaya konsumsi sehat juga membuat pemasaran jamur tidak terkendala. Jamur termasuk sayuran yang memiliki protein tinggi dan tidak mengandung kolesterol.
Berbagai variasi masakan pun dibuat untuk menggugah selera, yakni sup jamur, sate jamur, tongseng jamur, hingga pepes jamur. Jadi, budidaya jamu sangat prospektif.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 November 2009, Eny Prihtiyani
Wednesday, February 25, 2009
Danny Boyle, Alumni Sastra Inggris, Peraih Oskar: Sutradara Terbaik 2009

”Kepada Mumbai, semua yang telah membantu kami membuat film ini dan juga semua yang tidak membantu, terima kasih banyak. Anda semua membuat dia tampak kecil,” kata sutradara Danny Boyle seraya mengangkat piala Oscar di tangannya.
Boyle (52) menjadi orang paling berbahagia ketika film garapannya, Slumdog Millionaire, meraih 8 penghargaan dari 10 nominasi, termasuk 2 penghargaan paling bergengsi, yaitu sutradara terbaik dan film terbaik. Penyerahan Oscar dilakukan di Kodak Theater, Los Angeles, Minggu (22/2) malam waktu setempat.
Ini adalah Oscar pertama untuk sutradara kelahiran Manchester, Inggris, yang dikenal lebih banyak menyutradarai film-film beranggaran kecil. Banyak orang sudah menjagokan Slumdog menjadi film terbaik, dan para juri sependapat.
Boyle menyisihkan empat sutradara lain, yaitu David Fincher (The Curious Case of Benjamin Button), Stephen Daldry (The Reader), Gus van Sant (Milk), dan Ron Howard (Frost/Nixon).
Kemenangan Boyle dalam Oscar sudah diduga setelah dia mendapat penghargaan dari Directors Guild of America. Sebagian besar sutradara yang mendapat penghargaan itu umumnya juga mendapat Oscar.
Slumdog bercerita tentang seorang anak yatim piatu dari daerah kumuh di Mumbai, Jamal Malik (diperankan aktor Inggris keturunan India, Dev Patel) dalam memenangi juara pertama acara kuis televisi Who Wants To Be a Millionaire versi India, dengan kilas balik ke masa kanak-kanak Jamal.
”Anak-anak saya sudah terlalu besar untuk mengingat sekarang (apa yang saya pernah katakan), tetapi ketika mereka masih anak-anak, saya bersumpah di depan mereka bahwa jika keajaiban (memperoleh penghargaan Oscar) ini terjadi saya akan mengubah diri saya menjadi Tigger dalam cerita Winnie the Pooh,” kata Boyle dalam pidato kemenangannya.
Menjadi yatim
Boyle patut bangga dengan Slumdog. Film ini meraih Oscar untuk sinematografi, tata suara, pengeditan film, lagu asli, komposisi musik asli, dan skenario adaptasi terbaik. Selama pembuatan film di Mumbai, Boyle dan timnya menghadapi banyak tantangan, mulai dari ular piton, panasnya udara Mumbai, sampai birokrasi India selama tiga bulan pengambilan gambar.
Bahkan, setelah proses produksi selesai pada Februari 2007, film ini sempat menjadi yatim piatu ketika penyandang dananya, Warner Independent Pictures, salah satu divisi dari industri film raksasa Warner Bros, memutuskan melepas Slumdog.
Fox Searchlight Pictures kemudian mengambil alih film ini yang meraih sukses komersial dan mendapat pujian banyak kritikus film, November lalu. Sejak diputar di bioskop, Slumdog berhasil meraih 150 juta dollar AS meskipun dari Mumbai muncul kritik karena menggambarkan kaum dalit di daerah kumuh.
Sebagai sutradara berpengaruh di negerinya, reputasi Boyle dibangun melalui film beranggaran kecil, seperti Shallow Grave (1995) dan Trainspotting (1996). Film-film Boyle banyak mencampur realisme yang dingin dengan drama, sering kali dengan irama riuh, hal yang tampak nyata dalam Slumdog sehingga melodrama dalam film ini dapat menyenangkan banyak penonton.
Dia juga lebih menyukai bekerja di dunia nyata daripada di studio yang dia sebut ”tidak berjiwa”. Itu yang juga dia lakukan dengan Slumdog.
Lahir dari keluarga Katolik Irlandia yang taat, Boyle pernah menjadi putra altar selama enam tahun dan sempat berpikir ingin menjadi rohaniwan. Akhirnya dia belajar drama dan sastra Inggris di University of Wales di Bangor.
Dia memulai kariernya dari dunia teater karena, katanya, mendekati dunia teater lebih mudah daripada film. Dia menjadi Deputi Direktur Royal Court Theatre antara tahun 1982 hingga 1987.
Pada tahun 1987 Boyle mulai memproduksi film untuk televisi, Scout. Film-filmnya yang lain di antaranya A Life Less Ordinary (1997), The Beach (2000/2001), hingga Sunshine (2007).
”Saya tidak ingin membuat film yang sok, serius. Saya menyukai film yang memiliki semangat. Saat ini, ketika Anda berpikir tentang penghargaan dan ingin memenanginya, Anda berpikir harus membuat film serius, tetapi insting saya mengatakan buatlah film yang bersemangat, penuh kegembiraan,” kata Boyle seperti ditulis IMDb.com.
Kerja total
Di luar penghargaan Oscar, Slumdog mengundang kontroversi tentang pemeran masa kanak-kanak Jamal dan Salim, Rubina Ali (8) dan Azharuddin Ismail (8).
Orangtua kedua anak itu, menurut laporan media setempat, merasa dieksploitasi dan bayaran untuk mereka terlalu rendah. Harian The Telegraph dari Inggris melaporkan, keluarga kedua anak itu keadaannya tidak berubah, tetap tinggal di gubuk. Bahkan gubuk orangtua Azharuddin kena gusur.
Tentang kritik tersebut, Boyle mengatakan, kedua anak itu mendapat jaminan pendidikan dari produser film dan akan mendapat uang dalam jumlah besar setelah berusia 18 tahun asalkan mereka tetap bersekolah.
Boyle menolak menyebut jumlah uang yang akan diterima kedua anak itu dengan alasan dapat mengundang bahaya bagi keluarga itu sendiri dari komunitas mereka, termasuk dari para gangster. Sebagian hasil keuntungan film pun dijanjikan akan diberikan kepada organisasi nonpemerintah yang bekerja untuk pendidikan anak-anak daerah kumuh di Mumbai.
Pemahaman Boyle terhadap Mumbai adalah bagian dari cara dia bekerja langsung di lapangan. Meskipun belum pernah ke India, Boyle tidak ragu-ragu mengambil gambar langsung di lapangan. Bau tak sedap menusuk adalah pengalaman indrawi pertama yang menyergap dia.
”Semua serba ekstrem. Udaranya sangat panas, tehnya terlalu manis; semuanya serba terlalu banyak,” kata Boyle tentang Mumbai kepada CNN.com. ”Tetapi, itu sangat bagus untuk (membuat film) drama, sangat bagus.”
Boyle dan timnya mengambil gambar di jalan-jalan dan di seputar penanda kota berjuluk ”kota mimpi-mimpi” tersebut dan memakai pengguna jalan sebagai figuran. Boyle juga mengambil gambar di kawasan kumuh Dharavi—terbesar di Asia—dan Juhu yang terlihat dari bandara kota itu.
Karena hanya punya waktu terbatas di India, Boyle memutuskan pergi ke kawasan yang dia ingin masukkan ke dalam filmnya, lalu meminta para pemain berlatih di tempat. Bisa dibayangkan bila kemudian mereka menjadi tontonan warga setempat dan hal itu awalnya membuat para pemain gugup.
”Saya ingin merasa benar-benar terlibat dengan kota itu. Saya tidak ingin melihat ke dalamnya, memeriksanya. Saya ingin tercebur ke dalam kekacauan di sana sebanyak-banyaknya. Ada waktu antara pukul 02.00 sampai 04.00 di mana semuanya berhenti dan hanya anjing yang berkeliaran, tetapi di luar waktu itu, tempat itu adalah lautan kemanusiaan,” kata Boyle.
Data Diri
Nama: Danny Boyle
Tanggal dan tempat lahir: 20 Oktober 1956, Manchester, Inggris
Karya:
- Sebagai sutradara (di antaranya): Slumdog Millionaire (2008, mendapat Oscar 2009), Sunshine (2007), Millions (2004), 28 Days Later... (2002), Alien Love Triangle (2002), Vacuuming Completely Nude in Paradise (2001) (TV), The Beach (2000/2001), A Life Less Ordinary (1997), Trainspotting (1996), Shallow Grave (1995), dan sejumlah film televisi di Inggris
- Sebagai produser: 28 Weeks Later (2007), Twin Town (1997), The Nightwatch (1989, TV), Elephant (1989, TV), The Rockingham Shoot (1987, TV)
-------------------------------------------------
More info dari Wikipedia:
(born 20 October, 1956) is an Academy Award-winning British director and film producer, best known for his work on films such as Trainspotting, Sunshine, and 28 Days Later. In 2009 Boyle won an Academy Award for Best Director for Slumdog Millionaire.
Early life and background
Boyle was born in Radcliffe (historically a part of Lancashire), into a working-class Irish Catholic family. His mother was from Ballinasloe, County Galway, and his father was born in England to an Irish family.
When he was 14 Boyle applied to transfer from his local school to a seminary, but a priest warned him against it. In a recent interview he stated:
"Whether he was saving me from the priesthood or saving the priesthood from me, I don't know. But quite soon after, I started doing drama."
He later wrote a treatise about the activities of Christian missionaries in British India called Spiritual Glory of British Empire:Guiding souls in India. He studied at Thornleigh Salesian College in Bolton, and at Bangor University.[1] While at university, Boyle dated the actress Frances Barber.
Career
Theatre
He began his career in the theatre, first with the Joint Stock Theatre Company and then with the Royal Court Theatre, where he was Artistic Director from 1982 until 1985 and Deputy Director between 1985 and 1987. His productions during this period included Howard Barker's Victory, Howard Brenton's The Genius and Edward Bond's Saved, which won the Time Out Award. Boyle also directed five productions for the Royal Shakespeare Company.
Television
In 1980, Boyle started working in television as a producer for BBC Northern Ireland, where he produced, amongst other TV films, Alan Clarke's controversial Elephant before becoming a director on shows such as Arise And Go Now, Not Even God Is Wise Enough, For The Greater Good, Scout and two episodes of Inspector Morse ("Masonic Mysteries" and "Cherubim and Seraphim"). He was also responsible for the highly acclaimed BBC2 series, Mr. Wroe's Virgins.
Films
Boyle filming in 2004
Boyle made his feature film directorial debut with Shallow Grave, a small-scale but well-received success. Next followed the film Trainspotting, based on the novel by Irvine Welsh.
Boyle rose to prominence along with writer John Hodge, producer Andrew Macdonald and actor Ewan McGregor, in the internationally acclaimed Trainspotting, after which he moved to Hollywood to seek a production deal with a major US studio. He declined an offer to direct the fourth film of the Alien franchise, instead making A Life Less Ordinary using British finance.
Boyle's next project was an adaptation of the cult novel The Beach. He then collaborated with author Alex Garland on the post-apocalyptic horror film 28 Days Later.
In between the films The Beach and 28 Days Later, Boyle directed two TV movies for the BBC in 2001 - Vacuuming Completely Nude In Paradise and Strumpet. He also directed a short film Alien Love Triangle (starring Kenneth Branagh), and was intended to be one of three shorts within a feature film. However, the project was canceled after the two other shorts were made into feature films: Mimic starring Mira Sorvino and Impostor starring Gary Sinise.
In 2004, Boyle directed the Frank Cottrell Boyce scripted Millions. His science-fiction film Sunshine, starring 28 Days Later star Cillian Murphy, was released in 2007.
Boyle at the 2008 Toronto International Film Festival
In 2008, Boyle directed Slumdog Millionaire, the story of an impoverished child (Dev Patel) on the streets of Mumbai who competes on India's variant of Who Wants to Be a Millionaire?, for which Boyle won an Academy Award.[9]
Boyle will also direct Ponte Tower, about a girl moving into South Africa's famed fifty-four story skyscraper near the end of the apartheid-era only to fall under the influence of a druglord, as well as the film Solomon Grundy, about a baby who experiences an entire lifetime in just 6 days.
"Once you've had anything like a hit in the movie business it's so easy to get lost. All these people are scuttling around trying to get you to make things, suggesting things and offering deals. The pressure of what to do next is horrible."
Awards
Shallow Grave
* 1995 Angers European First Film Festival
o Audience Award, feature film.
o Best Screenplay, feature film.
o Liberation Advertisement Award.
* 1995 BAFTA
o Alexander Korda Award for best British film (shared with Andrew Macdonald).
* 1995 Cognac Festival du Film Policier
o Audience Award.
o Grand Prix.
* 1994 Dinard British Film Festival
o Golden Hitchcock.
* 1996 Empire Award
o Best Director.
* 1996 Evening Standard British Film Award
o Most Promising Newcomer.
* 1995 Fantasporto (Portugal)
o International Fantasy Film Award, Best Film.
* 1994 San Sebastian International Film Festival
o Silver Seashell, Best Director.
Trainspotting
* 1997 BAFTA Scotland Awards
o Best Feature Film.
* 1997 Bodil Award (Denmark)
o Best Non-American Film (Bedste ikke-amerikanske film)
* 1997 Czech Lions
o Best Foreign Language Film (Nejlepsà zahranicnà film)
* 1997 Empire Award
o Best Director.
* 1996 Seattle International Film Festival
o Golden Space Needle Award, Best Director.
* 1996 Warsaw International Film Festival
o Audience Award.
28 Days Later
* 2003 Fantasporto (Portugal)
o Grand Prize of European Fantasy Film in Silver.
o International Fantasy Film Award, Best Director.
* 2003 Neuchâtel International Fantasy Film Festival
o Best International Film.
Slumdog Millionaire
* 2009 Academy Awards
o Best Director
* 2008 Austin Film Festival
o Audience Award, out of competition feature.
* 2009 BAFTA
o Best Director
* 2008 British Independent Film Awards
o Best Director
* 2009 Broadcast Film Critics Association Awards
o Best Director
* 2008 Chicago Film Critics Association Awards
o Best Director
* 2008 Chicago International Film Festival
o Audience Choice Award
* 2009 Golden Globes
o Best Director - Motion Picture
* 2008 Los Angeles Film Critics Association Awards
o Best Director
* 2008 Satellite Awards
o Best Director
* 2008 Southeastern Film Critics Association Awards
o Best Director
* 2008 St. Louis International Film Festival
o Audience Choice Award - Best International Feature
* 2008 Toronto International Film Festival
o Audience Choice Award
Filmography
* Shallow Grave (1994)
* Trainspotting (1996)
* A Life Less Ordinary (1997)
* The Beach (2000)
* 28 Days Later (2002)
* Millions (2004)
* Sunshine (2007)
* Slumdog Millionaire (2008)
Tuesday, November 25, 2008
Nobel Sastra 2008 untuk Novelis Perancis Le Clezio

Literature Festival Internazionale di Roma
Jean-Marie Gustave Le Clezio, novelis Perancis penerima Nobel Sastra 2008
STOCKHOLM, KAMIS - Novelis Perancis Jean-Marie Gustave Le Clezio terpilih menjadi penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra tahun 2008 yang diumumkan di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Ia diganjar penghargaan atas novel-novel, esai, dan cerita anak yang penuh petualangan.
Akademi Swedia yang mendapat hak memilih peraih Nobel Sastra 2008 menyebutnya sebagai seorang penulis dengan gaya-gaya baru, petualangan yang puitis, dan "sensual ecstasy", penjelajah kemanusiaan di atas dan di bawah batas peradaban. Di awal debutnya sebagai novelis, ia sangat lihai bermain kata dan menggunakan kata-kata kiasan, namun beralih ke bahasa yang lebih membumi untuk mengangkat kehidupan nyata hingga cerita bertema anak-anak.
Le Clezio menjadi sangat terkenal saat menulis novel berjudul Desert pada tahun 1980. Novel tersebut juga mendapat penghargaan dari Akademi Perancis sebagai penulis terbaik Perancis. Komite penilai Nobel menilai karya tersebut mengandung gambaran yang sempurna sekali mengenai suku terasing di kawasan gurun Afrika Utara yang kontras dengan gambaran dari sudut pandang orang Eropa, imigran yang tidak diinginkan.
Sebagai nobelis, Le Clezio berhak mendapat hadiah sebesar 10 juta kronor atau sekitar Rp13,7 miliar. Hadiah tersebut akan diberikan saat penganugerahan pada bulan Desember.
Wulandari dan Pengajaran Bahasa Inggris
Sri Wulandari menyadari, bahasa Inggris adalah media pembuka jendela
dunia. Akan tetapi, karena faktor ekonomi, banyak masyarakat yang
belum mampu berbahasa Inggris. Kesadaran itulah yang membuat dia
ngotot mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak dari kampung ke
kampung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.
Bersama enam temannya sesama alumni lembaga kursus bahasa Inggris di
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, Wulan mendirikan sebuah organisasi
sosial kepemudaan yang bergerak di bidang pendidikan. Namanya Forum
Putra Daerah Peduli Pendidikan (FPDP2) yang didirikan pada tahun 2003.
Lembaga ini memberikan pendidikan bahasa Inggris yang baik dan benar
kepada segenap lapisan masyarakat tanpa memandang strata sosial.
Materi bahasa Inggris dipilih karena merupakan bahasa internasional.
"Bahasa Inggris adalah suatu kebutuhan, sama halnya dengan bahasa
Indonesia. Bangsa kita tertinggal, salah satu penyebabnya, karena
masyarakat tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa dengan baik
dan benar," ujar penerima penghargaan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla
sebagai Sarjana Penggerak Pemuda Pedesaan tahun 2006 ini.
Oleh karena itu, visi lembaga yang dibentuknya itu adalah membangun
komunitas berbahasa Inggris di Kediri. Konkretnya, dengan membentuk
klub- klub di lingkungan sekolah dan sanggar belajar di lingkungan
masyarakat. Kegiatan klub di sekolah dilakukan seusai jam pelajaran.
Ternyata, antusiasme siswa menyambut kegiatan belajar tambahan itu
sangatlah tinggi.
"Peminat selalu membeludak, apalagi pada saat menjelang ujian akhir.
Nuansa belajar di klub yang tidak formal membuat anak-anak merasa
betah," kata Juara I Bidang Kepeloporan Pendidikan oleh Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga, 2006. Untuk memotivasi siswa, setahun
sekali digelar kompetisi bahasa Inggris antarsekolah. Untuk menjaga
kesinambungan klub bahasa Inggris di sekolah, FPDP2 membina
siswa-siswi berprestasi menjadi pengurus klub.
Mengembangkan kelompok belajar di sanggar jauh lebih sulit dibanding
di klub di sekolah. Sampai tahun 2008, baru enam sanggar belajar di
enam kelurahan dari 46 kelurahan di Kota Kediri yang berhasil
didirikan. Akan tetapi, kini dua sanggar mati suri.
Kendala dana
Banyak kendala menghadang, terutama sulitnya mencari lokasi karena
keterbatasan dana. Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang
pendidikan, pendanaan FPDP2 tergantung pada iuran pengurus. Iuran itu
dipakai untuk membiayai operasional, mulai menyiapkan modul, membeli
alat tulis, hingga menyewa rumah untuk mendirikan sanggar belajar.
Kondisi keuangan yang tidak cukup itu membuat Wulan kurang leluasa
bergerak. Namun, ia harus mencari cara agar niat baik terwujud. Untuk
mendirikan sanggar, misalnya, ia mencari orang yang bersedia
meminjamkan ruang di rumahnya. Jika itu tercapai, barulah ia mencari
pengajar yang rela tidak dibayar.
Bagi gadis kelahiran Kediri, 27 tahun silam ini, mengajar tanpa
dibayar merupakan hal biasa. Bahkan, lebih sering ia harus merogoh
kocek pribadi. Tak ayal lagi, hasil kerja kerasnya memberikan les
privat terkuras untuk membiayai kegiatan sanggar belajar. Uang yang ia
kumpulkan untuk biaya kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Universitas
Islam Kediri juga tak pernah bertahan lama di kantongnya. Padahal,
Wulan harus membiayai sendiri kuliahnya.
Ayahnya yang bekerja di PT Gudang Garam Kediri berpenghasilan
pas-pasan, sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Apalagi Wulan
memiliki tiga adik yang juga memerlukan biaya sekolah.
Untuk memungut biaya dari murid-murid yang belajar di sanggar, ia
tidak tega. Pasalnya, mereka adalah anak orang-orang dengan
penghasilan pas-pasan. "Anak-anak mau datang dan belajar saja sudah
bagus. Kalau ditarik iuran, nanti malah kabur," katanya.
Meski demikian, putri pasangan Waluyo dan Sugiarti ini tak pernah
mengeluh soal uang. Semangatnya juga tidak meredup hanya karena
kesulitan dana. Sebaliknya, semua masalah yang menerpa perempuan yang
baru dipersunting Syam Al Anshory, Oktober 2008, ini justru menjadikan
dirinya lebih dewasa.
Oleh karena itu, hampir setiap hari ia memeras otak mencari ide
kreatif guna mendapatkan sumber pendanaan yang mampu membiayai
kegiatan pendidikan. Salah satunya adalah mengirimkan proposal
permohonan bantuan dana ke instansi pemerintah, swasta, dan perorangan.
Yakinkan masyarakat
Belum tuntas masalah pendanaan, masalah lain muncul lagi. Kegiatan
belajar bahasa Inggris yang diselenggarakan Wulan dan kawan-kawannya
mendapat penolakan dari masyarakat, terutama di kampung-kampung. Bagi
sebagian orang awam, apalagi di daerah pedesaan, bahasa Inggris bukan
sesuatu yang patut diprioritaskan. Bahasa Inggris juga dianggap
membawa pengaruh negatif bagi anak-anak, seperti halnya pengaruh
budaya Barat yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai Timur.
Setelah memelopori pendidikan bahasa Inggris di Kediri, Wulan yang
sekarang menjadi dosen di Universitas Islam Kediri itu mulai
melebarkan sayap ke beberapa kota di Jatim. Ia membangun sebuah
organisasi sosial yang dinamakan Aliansi Merah Putih, yang
beranggotakan pemuda-pemuda dari berbagai kota di Jatim yang memiliki
kepedulian di bidang pendidikan.
"Saat saya berada di luar negeri, saya sadar bahwa bahasa Inggris saya
masih buruk. Saya jadi malu dan bertekad untuk memperbaikinya agar
bisa memberikan yang lebih baik lagi kepada anak-anak bangsa," kata
perempuan yang pernah meraih ASEAN Youth Award 2006 for Singular
Excellence in the choosen field in conjunction with the 13th ASEAN
Youth Day Meeting di Malaysia tahun 2006 ini. RUNIK SRI ASTUTI, kompas.
dunia. Akan tetapi, karena faktor ekonomi, banyak masyarakat yang
belum mampu berbahasa Inggris. Kesadaran itulah yang membuat dia
ngotot mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak dari kampung ke
kampung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.
Bersama enam temannya sesama alumni lembaga kursus bahasa Inggris di
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, Wulan mendirikan sebuah organisasi
sosial kepemudaan yang bergerak di bidang pendidikan. Namanya Forum
Putra Daerah Peduli Pendidikan (FPDP2) yang didirikan pada tahun 2003.
Lembaga ini memberikan pendidikan bahasa Inggris yang baik dan benar
kepada segenap lapisan masyarakat tanpa memandang strata sosial.
Materi bahasa Inggris dipilih karena merupakan bahasa internasional.
"Bahasa Inggris adalah suatu kebutuhan, sama halnya dengan bahasa
Indonesia. Bangsa kita tertinggal, salah satu penyebabnya, karena
masyarakat tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa dengan baik
dan benar," ujar penerima penghargaan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla
sebagai Sarjana Penggerak Pemuda Pedesaan tahun 2006 ini.
Oleh karena itu, visi lembaga yang dibentuknya itu adalah membangun
komunitas berbahasa Inggris di Kediri. Konkretnya, dengan membentuk
klub- klub di lingkungan sekolah dan sanggar belajar di lingkungan
masyarakat. Kegiatan klub di sekolah dilakukan seusai jam pelajaran.
Ternyata, antusiasme siswa menyambut kegiatan belajar tambahan itu
sangatlah tinggi.
"Peminat selalu membeludak, apalagi pada saat menjelang ujian akhir.
Nuansa belajar di klub yang tidak formal membuat anak-anak merasa
betah," kata Juara I Bidang Kepeloporan Pendidikan oleh Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga, 2006. Untuk memotivasi siswa, setahun
sekali digelar kompetisi bahasa Inggris antarsekolah. Untuk menjaga
kesinambungan klub bahasa Inggris di sekolah, FPDP2 membina
siswa-siswi berprestasi menjadi pengurus klub.
Mengembangkan kelompok belajar di sanggar jauh lebih sulit dibanding
di klub di sekolah. Sampai tahun 2008, baru enam sanggar belajar di
enam kelurahan dari 46 kelurahan di Kota Kediri yang berhasil
didirikan. Akan tetapi, kini dua sanggar mati suri.
Kendala dana
Banyak kendala menghadang, terutama sulitnya mencari lokasi karena
keterbatasan dana. Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang
pendidikan, pendanaan FPDP2 tergantung pada iuran pengurus. Iuran itu
dipakai untuk membiayai operasional, mulai menyiapkan modul, membeli
alat tulis, hingga menyewa rumah untuk mendirikan sanggar belajar.
Kondisi keuangan yang tidak cukup itu membuat Wulan kurang leluasa
bergerak. Namun, ia harus mencari cara agar niat baik terwujud. Untuk
mendirikan sanggar, misalnya, ia mencari orang yang bersedia
meminjamkan ruang di rumahnya. Jika itu tercapai, barulah ia mencari
pengajar yang rela tidak dibayar.
Bagi gadis kelahiran Kediri, 27 tahun silam ini, mengajar tanpa
dibayar merupakan hal biasa. Bahkan, lebih sering ia harus merogoh
kocek pribadi. Tak ayal lagi, hasil kerja kerasnya memberikan les
privat terkuras untuk membiayai kegiatan sanggar belajar. Uang yang ia
kumpulkan untuk biaya kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Universitas
Islam Kediri juga tak pernah bertahan lama di kantongnya. Padahal,
Wulan harus membiayai sendiri kuliahnya.
Ayahnya yang bekerja di PT Gudang Garam Kediri berpenghasilan
pas-pasan, sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Apalagi Wulan
memiliki tiga adik yang juga memerlukan biaya sekolah.
Untuk memungut biaya dari murid-murid yang belajar di sanggar, ia
tidak tega. Pasalnya, mereka adalah anak orang-orang dengan
penghasilan pas-pasan. "Anak-anak mau datang dan belajar saja sudah
bagus. Kalau ditarik iuran, nanti malah kabur," katanya.
Meski demikian, putri pasangan Waluyo dan Sugiarti ini tak pernah
mengeluh soal uang. Semangatnya juga tidak meredup hanya karena
kesulitan dana. Sebaliknya, semua masalah yang menerpa perempuan yang
baru dipersunting Syam Al Anshory, Oktober 2008, ini justru menjadikan
dirinya lebih dewasa.
Oleh karena itu, hampir setiap hari ia memeras otak mencari ide
kreatif guna mendapatkan sumber pendanaan yang mampu membiayai
kegiatan pendidikan. Salah satunya adalah mengirimkan proposal
permohonan bantuan dana ke instansi pemerintah, swasta, dan perorangan.
Yakinkan masyarakat
Belum tuntas masalah pendanaan, masalah lain muncul lagi. Kegiatan
belajar bahasa Inggris yang diselenggarakan Wulan dan kawan-kawannya
mendapat penolakan dari masyarakat, terutama di kampung-kampung. Bagi
sebagian orang awam, apalagi di daerah pedesaan, bahasa Inggris bukan
sesuatu yang patut diprioritaskan. Bahasa Inggris juga dianggap
membawa pengaruh negatif bagi anak-anak, seperti halnya pengaruh
budaya Barat yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai Timur.
Setelah memelopori pendidikan bahasa Inggris di Kediri, Wulan yang
sekarang menjadi dosen di Universitas Islam Kediri itu mulai
melebarkan sayap ke beberapa kota di Jatim. Ia membangun sebuah
organisasi sosial yang dinamakan Aliansi Merah Putih, yang
beranggotakan pemuda-pemuda dari berbagai kota di Jatim yang memiliki
kepedulian di bidang pendidikan.
"Saat saya berada di luar negeri, saya sadar bahwa bahasa Inggris saya
masih buruk. Saya jadi malu dan bertekad untuk memperbaikinya agar
bisa memberikan yang lebih baik lagi kepada anak-anak bangsa," kata
perempuan yang pernah meraih ASEAN Youth Award 2006 for Singular
Excellence in the choosen field in conjunction with the 13th ASEAN
Youth Day Meeting di Malaysia tahun 2006 ini. RUNIK SRI ASTUTI, kompas.
Wednesday, July 23, 2008
Almuni Sastra Jadi Dubes

Alumni sastra jadi dubes, kenapa enggak. Terlampir kisah nyata. Jika mau ngikuti jejak sering-sering nyimak cpns deplu di www.deplu.go.id.
Untuk lowongan cpns deplu 08 dapat diakses di
http://www.ziddu.com/downloadlink/1729214/CPNSdeplu2008.pdf
Catherine Boivineau
Boivineau lalu belajar sastra di Institut Studi Politik Paris. Saat berkunjung ke Kementerian Luar Negeri, dia melihat pengumuman perekrutan pegawai.
Bagi Catherine Boivineau (65), Duta Besar Perancis untuk Indonesia, mengakhiri karier sebagai diplomat setelah bertugas di negeri ini adalah berkah tersendiri. Baginya, Indonesia telah memberi pengalaman tak terlupa. Meskipun hanya 18 bulan di Indonesia, Boivineau merasa siap menjadi suara bagi Indonesia di negerinya.
Saya tinggal punya beberapa waktu lagi di Indonesia. Sebentar lagi saya harus pulang ke Paris karena pensiun,” kata Boivineau saat ditemui di ruang kerjanya. Boivineau baru datang ke Indonesia pada 5 Desember 2006. Sebelumnya, dia menjadi Duta Besar Perancis untuk Madagaskar dan Duta Besar Perancis untuk Benin.
Ada beberapa ”pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Boivineau di Paris nanti.
”Saya merasa perlu menjelaskan kepada siapa saja bahwa Bali hanyalah bagian dari Indonesia,” tuturnya.
Aneh baginya, karena banyak orang yang dikenalnya mengatakan mereka datang ke Bali, tetapi tidak merasa datang ke Indonesia. Dia sendiri sudah menyinggahi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, dan kota-kota di Jawa.
Salah satu hal yang paling mengganjal bagi Boivineau adalah belum terselesaikannya persoalan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa. Boivineau termasuk orang yang paling keras membela Indonesia mengenai larangan terbang tersebut.
”Saat pertama kali datang kemari, saya naik Garuda dan tidak ada persoalan. Kecelakaan bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun,” ujar Boivineau.
Di matanya, persoalan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia sebenarya persoalan teknis semata. Sayangnya, larangan itu kemudian berdampak politis dan memperumit hubungan Indonesia-Uni Eropa.
”Ketika keputusan itu dibuat di Eropa, tampaknya tidak seorang pun memperhitungkan konsekuensi politisnya. Memang kita tidak bisa fleksibel menyangkut keselamatan, tetapi saya tahu bahwa maskapai Indonesia bekerja keras untuk memenuhi persyaratan Uni Eropa,” tuturnya.
”Saya benar- benar ingin solusi (larangan terbang) itu segera ditemukan. Kami siap membantu Indonesia dan saya benar-benar berharap kesepakatan bisa segera tercapai antara kedua pihak. Berpijak dari situ, kerja sama di semua sektor bisa dikembangkan,” kata Boivineau.
Tidak mudah
Boivineau mengakui, memang tak mudah meyakinkan orang di negerinya bahwa Indonesia tidak seperti yang mereka bayangkan. Setiap kali mendengar nama Indonesia, kata Boivineau, yang terpikir adalah bencana alam atau demonstrasi hampir setiap hari.
”Tidak mudah meyakinkan mereka, tetapi persepsi (tentang Indonesia) itu mulai berubah. Meskipun demikian, masih sulit menarik orang (di negerinya) untuk datang kemari (Indonesia),” katanya.
Kesempatan terbuka lebar untuk mengubah citra Indonesia sekaligus meningkatkan kerja sama dengan Uni Eropa saat Perancis menjabat presiden Uni Eropa sejak 1 Juli lalu. Boivineau mengungkapkan bahwa pada Oktober mendatang, troika Uni Eropa, yaitu Perancis yang sedang menjabat presiden, Republik Ceko yang akan menggantikan Perancis, dan presiden Komisi Eropa akan mengunjungi Indonesia untuk menjajaki pengembangan hubungan Uni Eropa-Indonesia.
Kendati sudah mencapai titik akhir, Boivineau menyatakan tidak akan berhenti menjadi ”duta”. Begitu cintanya kepada dunia diplomasi, Boivineau setelah pensiun tidak akan jauh-jauh dari dunia tersebut.
”Terpikir oleh saya untuk ikut membekali para diplomat muda. Tetapi tentu tidak bisa full time,” katanya sambil tertawa.
Pengalaman Boivineau memang tidak bisa diremehkan. Kariernya di Kementerian Luar Negeri Perancis sudah dimulai tahun 1969 dengan penempatan pada Direktorat Afrika Utara. Boivineau juga pernah bergabung dalam misi tetap Perancis di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, selama tiga tahun pada 1970-1973.
Setelah itu, ia ditempatkan dalam misi diplomatik di Bangkok (Thailand), Canberra (Australia), dan London (Inggris). Saat tidak ikut misi diplomatik di luar Perancis, Boivineau bertugas di kantor Kementerian Luar Negeri Perancis menangani persoalan terkait Afrika selama 15 tahun.
”Semua berawal dari kebetulan. Saya tidak terlalu suka dengan politik, tetapi ternyata selama 39 tahun saya bergelut dengan dunia itu,” tutur Boivineau.
Semula, Boivineau belajar sains dan matematika. Namun, gurunya waktu itu mengatakan tidak ada masa depan bagi perempuan dalam bidang ini. Dia menyarankan Boivineau untuk belajar seni dan bahasa. Ayahnya menginginkan Boivineau menjadi guru.
Boivineau lalu belajar sastra di Institut Studi Politik Paris. Saat berkunjung ke Kementerian Luar Negeri, dia melihat pengumuman perekrutan pegawai.
”Saya ikut tes dan lolos. Dari sinilah semua itu dimulai,” kenangnya.
Prestasi terbesar
Boivineau menjadi satu dari 19 perempuan duta besar Perancis yang tersebar di 170 misi diplomatik di seluruh dunia. Pencapaian tersebut diakuinya luar biasa mengingat semasa mulai bekerja pada akhir 1960-an di Kementerian Luar Negeri hanya ada dirinya di sektor itu. Sekarang, 25 persen pegawai di kantor tersebut perempuan.
”Bagi saya, perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Seseorang sukses karena kemampuannya,” ujar Boivineau.
Saat di Afrika, dia pernah merasa sangat marah sebab kemampuannya diremehkan hanya karena dia seorang perempuan.
Namun, diakuinya bahwa tidak mudah menjadi perempuan yang memiliki karier karena mereka harus mengurus keluarga. ”Yang terpenting bagi saya, anak-anak mendukung saya. Memang berat bagi mereka, tetapi pada akhirnya mereka bangga atas apa yang saya lakukan,” ujarnya.
Pada akhirnya, anak-anaknya bisa memiliki wawasan lebih luas dan pandangan lebih terbuka saat menemui perbedaan dan keragaman di sekelilingnya. Mereka bepergian ke banyak tempat dan menjadi terbiasa dengan orang baru, tempat baru, dan kebudayaan baru.
”Itu prestasi terbesar saya,” kata Boivineau.
Sebelum meninggalkan Indonesia, Boivineau ”berpesan” agar negeri ini lebih terbuka dan berpandangan lebih global. Indonesia, menurut dia, memiliki kesempatan untuk berperan lebih besar lagi di dunia internasional.
”Saya memang tidak berhak memberi nasihat, tetapi saya melihat potensi Indonesia yang begitu besar jika mau sedikit lebih terbuka kepada dunia,” ujarnya.
Au revoir, Madame....
Wednesday, July 02, 2008
[Prestasi] Irawati Kusumorasri Keliling Pentas
Ni aku sedang di Montpellier, Perancis selatan. Ku atas nama Group tariku Semarak Candrakirana, membawa 12 penari, termasuk 2 reog. Ku menari 27x tiap hari, sebulan lebih ku di sini. Tajuk pentas Tamansari, di kontrak oleh Printems Des Comediens. Yang penasaran bisa membeka webnya. Ni ada oleh2 foto buat temen2.
Salam dari Perancis
Irawati Kusumorasri
Thursday, June 16, 2005
Profil Ikatan Alumni Sastra Inggris UNS, Solo
Ikatan Alumni Sastra Inggris UNS, Solo
Ketua:
1. Sri Wahyu Wibawanto (angkatan ‘88)
2. Suyatno (angkatan ‘83)
Sekretaris: Tutiek Rahaju (angkatan ‘88)
Bendahara: Dewi (angkatan ‘83)
Penasehat:
1. Riyadi S. (Ketua Jurusan Sastra Inggris UNS)
2. Nani S. (Dosen Sastra Inggris UNS)
Koordiator masing-masing angkatan:
Angkatan ’82 : Jauhari
Angkatan ’83 : Suyatno
Angkatan ’85 : Bachtiar Widodo
Angkatan ’86 : Guntur
Angkatan ’87 : Bambang Joko Priono
Angkatan ’88 : Sri Wahyu Wibawanto
Angkatan ’89 : Dyah Listyowati
Angkatan ’96 : Agustina Niken
Angkatan ’98 : Novi
Angkatan ’00 : Ayu
Angkatan lain : Dicari!!
Ketua:
1. Sri Wahyu Wibawanto (angkatan ‘88)
2. Suyatno (angkatan ‘83)
Sekretaris: Tutiek Rahaju (angkatan ‘88)
Bendahara: Dewi (angkatan ‘83)
Penasehat:
1. Riyadi S. (Ketua Jurusan Sastra Inggris UNS)
2. Nani S. (Dosen Sastra Inggris UNS)
Koordiator masing-masing angkatan:
Angkatan ’82 : Jauhari
Angkatan ’83 : Suyatno
Angkatan ’85 : Bachtiar Widodo
Angkatan ’86 : Guntur
Angkatan ’87 : Bambang Joko Priono
Angkatan ’88 : Sri Wahyu Wibawanto
Angkatan ’89 : Dyah Listyowati
Angkatan ’96 : Agustina Niken
Angkatan ’98 : Novi
Angkatan ’00 : Ayu
Angkatan lain : Dicari!!
Subscribe to:
Posts (Atom)