Tuesday, November 25, 2008

Wulandari dan Pengajaran Bahasa Inggris

Sri Wulandari menyadari, bahasa Inggris adalah media pembuka jendela
dunia. Akan tetapi, karena faktor ekonomi, banyak masyarakat yang
belum mampu berbahasa Inggris. Kesadaran itulah yang membuat dia
ngotot mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak dari kampung ke
kampung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.

Bersama enam temannya sesama alumni lembaga kursus bahasa Inggris di
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, Wulan mendirikan sebuah organisasi
sosial kepemudaan yang bergerak di bidang pendidikan. Namanya Forum
Putra Daerah Peduli Pendidikan (FPDP2) yang didirikan pada tahun 2003.
Lembaga ini memberikan pendidikan bahasa Inggris yang baik dan benar
kepada segenap lapisan masyarakat tanpa memandang strata sosial.

Materi bahasa Inggris dipilih karena merupakan bahasa internasional.
"Bahasa Inggris adalah suatu kebutuhan, sama halnya dengan bahasa
Indonesia. Bangsa kita tertinggal, salah satu penyebabnya, karena
masyarakat tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa dengan baik
dan benar," ujar penerima penghargaan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla
sebagai Sarjana Penggerak Pemuda Pedesaan tahun 2006 ini.

Oleh karena itu, visi lembaga yang dibentuknya itu adalah membangun
komunitas berbahasa Inggris di Kediri. Konkretnya, dengan membentuk
klub- klub di lingkungan sekolah dan sanggar belajar di lingkungan
masyarakat. Kegiatan klub di sekolah dilakukan seusai jam pelajaran.
Ternyata, antusiasme siswa menyambut kegiatan belajar tambahan itu
sangatlah tinggi.

"Peminat selalu membeludak, apalagi pada saat menjelang ujian akhir.
Nuansa belajar di klub yang tidak formal membuat anak-anak merasa
betah," kata Juara I Bidang Kepeloporan Pendidikan oleh Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga, 2006. Untuk memotivasi siswa, setahun
sekali digelar kompetisi bahasa Inggris antarsekolah. Untuk menjaga
kesinambungan klub bahasa Inggris di sekolah, FPDP2 membina
siswa-siswi berprestasi menjadi pengurus klub.

Mengembangkan kelompok belajar di sanggar jauh lebih sulit dibanding
di klub di sekolah. Sampai tahun 2008, baru enam sanggar belajar di
enam kelurahan dari 46 kelurahan di Kota Kediri yang berhasil
didirikan. Akan tetapi, kini dua sanggar mati suri.

Kendala dana

Banyak kendala menghadang, terutama sulitnya mencari lokasi karena
keterbatasan dana. Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang
pendidikan, pendanaan FPDP2 tergantung pada iuran pengurus. Iuran itu
dipakai untuk membiayai operasional, mulai menyiapkan modul, membeli
alat tulis, hingga menyewa rumah untuk mendirikan sanggar belajar.

Kondisi keuangan yang tidak cukup itu membuat Wulan kurang leluasa
bergerak. Namun, ia harus mencari cara agar niat baik terwujud. Untuk
mendirikan sanggar, misalnya, ia mencari orang yang bersedia
meminjamkan ruang di rumahnya. Jika itu tercapai, barulah ia mencari
pengajar yang rela tidak dibayar.

Bagi gadis kelahiran Kediri, 27 tahun silam ini, mengajar tanpa
dibayar merupakan hal biasa. Bahkan, lebih sering ia harus merogoh
kocek pribadi. Tak ayal lagi, hasil kerja kerasnya memberikan les
privat terkuras untuk membiayai kegiatan sanggar belajar. Uang yang ia
kumpulkan untuk biaya kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Universitas
Islam Kediri juga tak pernah bertahan lama di kantongnya. Padahal,
Wulan harus membiayai sendiri kuliahnya.

Ayahnya yang bekerja di PT Gudang Garam Kediri berpenghasilan
pas-pasan, sedangkan ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Apalagi Wulan
memiliki tiga adik yang juga memerlukan biaya sekolah.

Untuk memungut biaya dari murid-murid yang belajar di sanggar, ia
tidak tega. Pasalnya, mereka adalah anak orang-orang dengan
penghasilan pas-pasan. "Anak-anak mau datang dan belajar saja sudah
bagus. Kalau ditarik iuran, nanti malah kabur," katanya.

Meski demikian, putri pasangan Waluyo dan Sugiarti ini tak pernah
mengeluh soal uang. Semangatnya juga tidak meredup hanya karena
kesulitan dana. Sebaliknya, semua masalah yang menerpa perempuan yang
baru dipersunting Syam Al Anshory, Oktober 2008, ini justru menjadikan
dirinya lebih dewasa.

Oleh karena itu, hampir setiap hari ia memeras otak mencari ide
kreatif guna mendapatkan sumber pendanaan yang mampu membiayai
kegiatan pendidikan. Salah satunya adalah mengirimkan proposal
permohonan bantuan dana ke instansi pemerintah, swasta, dan perorangan.

Yakinkan masyarakat

Belum tuntas masalah pendanaan, masalah lain muncul lagi. Kegiatan
belajar bahasa Inggris yang diselenggarakan Wulan dan kawan-kawannya
mendapat penolakan dari masyarakat, terutama di kampung-kampung. Bagi
sebagian orang awam, apalagi di daerah pedesaan, bahasa Inggris bukan
sesuatu yang patut diprioritaskan. Bahasa Inggris juga dianggap
membawa pengaruh negatif bagi anak-anak, seperti halnya pengaruh
budaya Barat yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai Timur.

Setelah memelopori pendidikan bahasa Inggris di Kediri, Wulan yang
sekarang menjadi dosen di Universitas Islam Kediri itu mulai
melebarkan sayap ke beberapa kota di Jatim. Ia membangun sebuah
organisasi sosial yang dinamakan Aliansi Merah Putih, yang
beranggotakan pemuda-pemuda dari berbagai kota di Jatim yang memiliki
kepedulian di bidang pendidikan.

"Saat saya berada di luar negeri, saya sadar bahwa bahasa Inggris saya
masih buruk. Saya jadi malu dan bertekad untuk memperbaikinya agar
bisa memberikan yang lebih baik lagi kepada anak-anak bangsa," kata
perempuan yang pernah meraih ASEAN Youth Award 2006 for Singular
Excellence in the choosen field in conjunction with the 13th ASEAN
Youth Day Meeting di Malaysia tahun 2006 ini. RUNIK SRI ASTUTI, kompas.

1 comment:

Anonymous said...

inilah bu muslimah baru di era digital, salut..., inspiratif.

di desa pogog, wonogiri juga ada profile yang kurang lebih seperti wulandari, namanya pak narno, seorang guru sd yang memberikan pengajaran baca tulis kepada petani desa pogog secara gratis tanpa dipungut bayaran apapun, malah... pak narno yang membayar kepada petani agar mau belajar membaca dan menulis....