Wednesday, July 23, 2008

Almuni Sastra Jadi Dubes


Alumni sastra jadi dubes, kenapa enggak. Terlampir kisah nyata. Jika mau ngikuti jejak sering-sering nyimak cpns deplu di www.deplu.go.id.

Untuk lowongan cpns deplu 08 dapat diakses di
http://www.ziddu.com/downloadlink/1729214/CPNSdeplu2008.pdf

Catherine Boivineau

Boivineau lalu belajar sastra di Institut Studi Politik Paris. Saat berkunjung ke Kementerian Luar Negeri, dia melihat pengumuman perekrutan pegawai.

Bagi Catherine Boivineau (65), Duta Besar Perancis untuk Indonesia, mengakhiri karier sebagai diplomat setelah bertugas di negeri ini adalah berkah tersendiri. Baginya, Indonesia telah memberi pengalaman tak terlupa. Meskipun hanya 18 bulan di Indonesia, Boivineau merasa siap menjadi suara bagi Indonesia di negerinya.

Saya tinggal punya beberapa waktu lagi di Indonesia. Sebentar lagi saya harus pulang ke Paris karena pensiun,” kata Boivineau saat ditemui di ruang kerjanya. Boivineau baru datang ke Indonesia pada 5 Desember 2006. Sebelumnya, dia menjadi Duta Besar Perancis untuk Madagaskar dan Duta Besar Perancis untuk Benin.

Ada beberapa ”pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Boivineau di Paris nanti.

”Saya merasa perlu menjelaskan kepada siapa saja bahwa Bali hanyalah bagian dari Indonesia,” tuturnya.

Aneh baginya, karena banyak orang yang dikenalnya mengatakan mereka datang ke Bali, tetapi tidak merasa datang ke Indonesia. Dia sendiri sudah menyinggahi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, dan kota-kota di Jawa.

Salah satu hal yang paling mengganjal bagi Boivineau adalah belum terselesaikannya persoalan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa. Boivineau termasuk orang yang paling keras membela Indonesia mengenai larangan terbang tersebut.

”Saat pertama kali datang kemari, saya naik Garuda dan tidak ada persoalan. Kecelakaan bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun,” ujar Boivineau.

Di matanya, persoalan larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia sebenarya persoalan teknis semata. Sayangnya, larangan itu kemudian berdampak politis dan memperumit hubungan Indonesia-Uni Eropa.

”Ketika keputusan itu dibuat di Eropa, tampaknya tidak seorang pun memperhitungkan konsekuensi politisnya. Memang kita tidak bisa fleksibel menyangkut keselamatan, tetapi saya tahu bahwa maskapai Indonesia bekerja keras untuk memenuhi persyaratan Uni Eropa,” tuturnya.

”Saya benar- benar ingin solusi (larangan terbang) itu segera ditemukan. Kami siap membantu Indonesia dan saya benar-benar berharap kesepakatan bisa segera tercapai antara kedua pihak. Berpijak dari situ, kerja sama di semua sektor bisa dikembangkan,” kata Boivineau.

Tidak mudah

Boivineau mengakui, memang tak mudah meyakinkan orang di negerinya bahwa Indonesia tidak seperti yang mereka bayangkan. Setiap kali mendengar nama Indonesia, kata Boivineau, yang terpikir adalah bencana alam atau demonstrasi hampir setiap hari.

”Tidak mudah meyakinkan mereka, tetapi persepsi (tentang Indonesia) itu mulai berubah. Meskipun demikian, masih sulit menarik orang (di negerinya) untuk datang kemari (Indonesia),” katanya.

Kesempatan terbuka lebar untuk mengubah citra Indonesia sekaligus meningkatkan kerja sama dengan Uni Eropa saat Perancis menjabat presiden Uni Eropa sejak 1 Juli lalu. Boivineau mengungkapkan bahwa pada Oktober mendatang, troika Uni Eropa, yaitu Perancis yang sedang menjabat presiden, Republik Ceko yang akan menggantikan Perancis, dan presiden Komisi Eropa akan mengunjungi Indonesia untuk menjajaki pengembangan hubungan Uni Eropa-Indonesia.

Kendati sudah mencapai titik akhir, Boivineau menyatakan tidak akan berhenti menjadi ”duta”. Begitu cintanya kepada dunia diplomasi, Boivineau setelah pensiun tidak akan jauh-jauh dari dunia tersebut.

”Terpikir oleh saya untuk ikut membekali para diplomat muda. Tetapi tentu tidak bisa full time,” katanya sambil tertawa.

Pengalaman Boivineau memang tidak bisa diremehkan. Kariernya di Kementerian Luar Negeri Perancis sudah dimulai tahun 1969 dengan penempatan pada Direktorat Afrika Utara. Boivineau juga pernah bergabung dalam misi tetap Perancis di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, selama tiga tahun pada 1970-1973.

Setelah itu, ia ditempatkan dalam misi diplomatik di Bangkok (Thailand), Canberra (Australia), dan London (Inggris). Saat tidak ikut misi diplomatik di luar Perancis, Boivineau bertugas di kantor Kementerian Luar Negeri Perancis menangani persoalan terkait Afrika selama 15 tahun.

”Semua berawal dari kebetulan. Saya tidak terlalu suka dengan politik, tetapi ternyata selama 39 tahun saya bergelut dengan dunia itu,” tutur Boivineau.

Semula, Boivineau belajar sains dan matematika. Namun, gurunya waktu itu mengatakan tidak ada masa depan bagi perempuan dalam bidang ini. Dia menyarankan Boivineau untuk belajar seni dan bahasa. Ayahnya menginginkan Boivineau menjadi guru.

Boivineau lalu belajar sastra di Institut Studi Politik Paris. Saat berkunjung ke Kementerian Luar Negeri, dia melihat pengumuman perekrutan pegawai.

”Saya ikut tes dan lolos. Dari sinilah semua itu dimulai,” kenangnya.

Prestasi terbesar

Boivineau menjadi satu dari 19 perempuan duta besar Perancis yang tersebar di 170 misi diplomatik di seluruh dunia. Pencapaian tersebut diakuinya luar biasa mengingat semasa mulai bekerja pada akhir 1960-an di Kementerian Luar Negeri hanya ada dirinya di sektor itu. Sekarang, 25 persen pegawai di kantor tersebut perempuan.

”Bagi saya, perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Seseorang sukses karena kemampuannya,” ujar Boivineau.

Saat di Afrika, dia pernah merasa sangat marah sebab kemampuannya diremehkan hanya karena dia seorang perempuan.

Namun, diakuinya bahwa tidak mudah menjadi perempuan yang memiliki karier karena mereka harus mengurus keluarga. ”Yang terpenting bagi saya, anak-anak mendukung saya. Memang berat bagi mereka, tetapi pada akhirnya mereka bangga atas apa yang saya lakukan,” ujarnya.

Pada akhirnya, anak-anaknya bisa memiliki wawasan lebih luas dan pandangan lebih terbuka saat menemui perbedaan dan keragaman di sekelilingnya. Mereka bepergian ke banyak tempat dan menjadi terbiasa dengan orang baru, tempat baru, dan kebudayaan baru.

”Itu prestasi terbesar saya,” kata Boivineau.

Sebelum meninggalkan Indonesia, Boivineau ”berpesan” agar negeri ini lebih terbuka dan berpandangan lebih global. Indonesia, menurut dia, memiliki kesempatan untuk berperan lebih besar lagi di dunia internasional.

”Saya memang tidak berhak memberi nasihat, tetapi saya melihat potensi Indonesia yang begitu besar jika mau sedikit lebih terbuka kepada dunia,” ujarnya.

Au revoir, Madame....