Monday, September 26, 2005

[Translation] Lembaga, Strategi, & Kebijakan

LEMBAGA PENERJEMAHAN DAN STRATEGI KEBIJAKAN BIDANG PENERJEMAHAN

Oleh
Fajar Setiawan Roekminto

I.Pendahuluan

Kemajuan teknologi yang terjadi di negara – negara maju (Amerika, Eropa dan beberapa negara di Timur Jauh) telah berimbas pada upaya negara – negara dunia ketiga untuk berlomba – lomba tidak hanya menjadi pemakai/penikmat teknologi tetapi juga menjadi bagian dari pemilik. Ketika krisis regional menghantam kawasan Asia pada tahun 1997, Malaysia yang juga mengalami krisis yang sama dengan Indonesia justru terus melanjutkan proyek ambisiusnya dengan pembangunan Multimedia Super Corridor (MSC) yang berlokasi di sebelah selatan Kuala Lumpur. MSC adalah sebuah plant yang meniru Silicon Valley di California dan dibangun untuk mengembangkan riset dan bisnis dalam teknologi tinggi komputer. MSC benar – benar menjadi sebuah kota baru dengan Cyberputra sebagai pusatnya. Selain itu Malaysia juga mengembangkan proyek industri mobil nasionalnya yang sempat mengisi pasar mobil di Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia yang mempunyai keinginan kuat untuk menjadi negara industri dan konon pernah menjadi “contoh” bagi Malaysia justru mengalami kemunduran, tidak hanya dalam bidang teknologi tetapi juga dalam bidang – bidang lain seperti misalnya pendidikan. Meskipun beberapa saat yang lalu sempat ada industri yang sangat dibanggakan, paling tidak oleh pemerintahan Suharto yakni IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia), dalam kenyataannya industri tersebut bukan merupakan basis dalam proses perkembangan menuju sebuah negara industri seperti yang pernah digembar – gemborkan. Dengan demikian maka keinginan Indonesia tersebut hanya sebatas impian karena ada banyak prasyarat yang tidak pernah terpenuhi oleh Indonesia untuk menjadi negara industri. Barangkali ada benarnya apa yang dikatakan oleh Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti, Prof. Dr. Dodi Nandika pada PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) di UNS pada tanggal 23 – 26 Juli yang lalu. Dia mengatakan bahwa industri di Indonesia sebetulnya bukan industri dalam arti sesungguhnya tetapi hanya traders (Kompas, 27/07/2003).

Kenyataannya memang Indonesia saat ini menjadi pasar potensial inovasi teknologi yang dikembangkan baik di Barat maupun negara – negara Timur Jauh. Dari hari ke hari Indonesia dibombardir tidak hanya oleh teknologi tetapi juga informasi yang berdampak pada terjadinya perubahan gaya hidup, ideologi, politik dan bahkan kebudayaan.[1]

Untuk jangka panjang posisi semacam ini tentu saja tidak menguntungkan karena Indonesia tidak hanya akan terus menjadi negara konsumen, yang berdampak pada pembentukan budaya konsumerisme pada masyarakatnya, tetapi juga menjadi negara yang tidak mampu mengartikulasikan kepentingannya di dunia internasional. Ketertinggalan dan ketidakmampuan Indonesia menunjukkan bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dalam menyingkapi perkembangan jaman (era globalisasi) khususnya dalam mengembangkan sumber daya manusia.

II. Hegemoni, Pos-kolonial dan Terjemahan: Realitas Indonesia

Meskipun perang dingin antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat (AS) telah usai pada dekade 90-an, berbarengan dengan keterbukaan (glasnost) dan restrukturisasi (perestoika) yang digagas oleh Mikhail Gorbachev, namun demikian upaya Gorbachev tersebut tidak serta merta mengakhiri perang yang terjadi di dunia. Telah terjadi peperangan lain yakni bidang ekonomi dan teknologi yang mengakibatkan terjadinya pergeseran, baik itu isu maupun peran yang dilakukan oleh masing – masing negara, tidak terkecuali AS. Amerika Serikat, yang pada mulanya mengklaim dirinya sebagai kekuatan penyeimbang bagi eksistensi komunisme yang diwakili oleh Uni Sovyet dan sekutunya, berganti peran menjadi “polisi dunia” yang berhak mengawasi dan mengatur tatanan dunia.

AS telah mencoba untuk terlibat dalam setiap aktifitas yang ada diseluruh dunia. Mulai dari perkembangan persenjataan, khususnya senjata nuklir, sampai isu – isu stabilitas keamanan, kemiskinan, perekonomian, hak asasi manusia dan ekosistem.[2] Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan AS dan negara – negara maju tersebut adalah dalam rangka kepentingan ekonomi mereka. Dapatlah dikatakan bahwa secara universal watak hegemoni AS dan Barat (juga negara – negara industri baru lain) pada umumnya tidak berubah

Hegemoni dan dominasi itu salah satunya dilakukan dengan peningkatan investasi di negara dunia ketiga. Investor, dengan dukungan pemerintahnya mempunyai peran yang signifikan dalam perubahan struktur dan cara pandang masyarakat di negara – negara dunia ketiga.[3] Telah terjadi “imperialisme baru” (neo-imperialism)[4] di negara – negara dunia ketiga. Dalam perspektif studi pos-kolonial, seperti yang dikatakan oleh Robinson (1997: 14), terjadinya upaya penaklukan budaya atas dasar keinginan negara kolonial. [5]

Pos-kolonial adalah sebuah metafora bagi pemahaman terhadap masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan. Premisnya, negara yang mengekspor tehnologi dan informasi ke Indonesia adalah colonizer, kondisi masyarakat Indonesia yang terhegemoni adalah colonized dan terjemahan[6] merupakan sebuah alat untuk mempercepat proses kolonialisasi dalam “model penjajahan baru” tersebut. Penaklukan terhadap budaya di negara dunia ketiga tercipta lewat produk yang ditawarkan, produk tersebut sekaligus merupakan media interaksi antara colonizer dan colonized.[7]

Di banyak negara telah terjadi resistensi terhadap upaya kolonialisasi[8] ini, namun demikian dalam kenyataannya hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Keinginan untuk melepaskan diri dari sub-ordinasi sistem yang di bangun oleh hegemoni Barat harus dibarengi dengan political will pemerintah. Indonesia sendiri sejauh ini belum menunjukan usaha ke arah itu dan bahkan cenderung untuk mempertahankan internal colonialsim.[9] Selain itu Indonesia juga terlihat tidak berdaya dalam melawan global neo- imperialism[10]. Dengan demikian tidak mengherankan apabila seringkali Indonesia tidak mampu mengartikulasikan kepentinganya ditingkat internasional akibat lemahnya posisi Indonesia.[11]

III.Lembaga Penerjemahan dan Strategi Kebijakan Bidang Penerjemahan: Sebuah Kebutuhan

Dengan mempertimbangkan hegemoni dan dominasi negara industri terhadap negara dunia ketiga, maka sudah saatnya Indonesia melakukan langkah – langkah strategis. Pertama, menghindarkan diri dari subordinasi sistem global yang diciptakan oleh negara – negara penguasa teknologi dan kedua, meningkatkan kemampuan untuk mengartikulasikan gagasan – gagasan politis, ideologi maupun kebudayaan bagi kepentingan domestik jangka panjang.

Salah satu langkah kongkret yang bisa dilaksanakan adalah dengan pembentukan lembaga[12] penerjemahan. Sebuah lembaga yang eksistensinya sejajar dengan lembaga bahasa[13] dan mempunyai tugas melaksanakan semua hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang terjemahan termasuk pembentukan skema kerjasama dengan Depdiknas dalam rangka menentukan kurikulum bidang studi penerjemahan atau dengan lembaga – lembaga lain, lembaga penerbitan misalnya.[14]

Lembaga penerjemahan juga harus merupakan sebuah tempat dimana setiap orang yang tidak menguasai bahasa asing bisa mengakses teks yang dibutuhkan dengan cepat dan murah. Konsekuensinya adalah Lembaga Penerjemahan harus mampu untuk menerjemahkan teks sebanyak – banyaknya, khususnya yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas. Selain itu Lembaga Penerjemahan juga mempunyai kewajiban menerjemahkan teks – teks berbahasa Indonesia yang dianggap penting ke dalam bahasa asing sehingga masyarakat internasional juga dapat membaca karya – karya putera – puteri Indonesia. Dengan semakin banyaknya teks bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diharapkan semakin banyak manusia Indonesia yang dapat mengakses informasi dengan cepat, mudah dan murah dengan tujuan agar semakin banyak manusia Indonesia yang menjadi cerdas. Sebaliknya dengan semakin banyaknya teks berbahasa Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing maka akan semakin banyak masyarakat internasional yang mengenal dan memahami Indonesia. Terbentuknya Lembaga Penerjemahan juga diharapkan akan mudah untuk membuat strategi – strategi kebijakan bidang penerjemahan baik yang bersifat konseptual maupun tehnis.

Sukoharjo, Awal Agustus 2003

Curriculum Vitae
Nama : Fajar Setiawan Roekminto
Alamat : Jl. Merkurius Blok H 7-8, Gedangan Permai Solo Baru Sektor 10 Sukoharjo
Tempat/Tgl Lahir : Sukoharjo, 28 Oktober 1968
Status : Menikah dengan 1 Anak
Pekerjaan : Staf Pengajar pada Fakultas Sastra - Inggris UKI Jakarta.

[1] Hal ini sempat memicu perdebatan panjang tidak hanya dikalangan akademisi, politisi, pakar kebudayaan dan praktisi pendidikan, tetapi juga masyarakat luas. Persoalan kebudayaan dalam realitas Indonesia saat ini, menurut Mangunwijaya adalah pasca Indonesia, pasca Einstein, organis historis, dialektis dan merdeka dari eksploitasi manusia (Mangunwijaya, 1999:83 dalam dalam kumpulan esei – eseinya berjudul Pasca- Indonesia Pasca- Eistein. Kanisius: Yogyakarta.). Proses globalisasi beserta seluruh konflik kultural ini juga ditulis oleh beliau dalam karya fiksi berjudul Burung – Burung Rantau (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.1992)

[2] Serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan, Irak serta pengiriman pasukan ke Monrovia, Liberia,dan dominasi AS atas lembaga – lembaga Internasional (IMF misalnya) merupakan contoh nyata keinginan kuat AS dan sekutunya untuk menghegemoni negara – negara lain.

[3] Dalam konteks Indonesia, barangkali eksistensi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad 17 dan 18 merupakan analogi yang tepat untuk melihat fenomena ini.

[4] Slemon (1990) via Lo memberikan definisi neo-imperialism secara historis. Neo imperialisme meliputi internal colonialism (elit – elit yang memerintah cenderung melanjutkan tradisi kekuasaan kolonial pasca periode imperialisme) , regional neo –imperialism (terjadinya bentuk baru budaya akibat perubahan geo-politik, ekonomi dan stuktur budaya pada tingkat wilayah regional) dan global neo-imperialsm (globalisasi, khususnya bidang ekonomi, sebagai akibat terus berlangsungnya konsentrasi kekuasaan dan kemakmuran di Barat). (lihat Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam makalah berjudul Postcolonial Theory: Possibilities and Limitations yang disajikan dalam Workshop Internasional bertajuk “Postcolonial and The Question of Modern Indonesian Literature” di Sydney. Mei 29-31, 1998)

[5] Robinson, D. 1997. Translation and Empire, Manchester: St. Jerome.

[6] Terbitnya mass media asing dalam edisi bahasa Indonesia secara langsung telah mempercepat proses kolonialisasi ini. Tiffin dan Lawson mengatakan bahwa hegemoni pasca-kolonial terletak pada kekuatan yang tinggal dalam wacana dan teks (Tiffin, C. and Lawson, A., 1994. De-scribing Empire ¾ Post-colonialism and textuality. London: Routledge). Apresiasi yang tinggi terhadap mass media dan produk asing (termasuk diantaranya komik, karya sastra dan film), secara tidak sadar, telah mengubah kebudayaan lokal yang pada gilirannya mengubah bentuk dan substansi tidak hanya yang bersifat fisik tetapi intelektual.

[7] Dalam model neo-imperialism ini perusahaan – perusahaan multi nasional yang sebagain besar sahamnya dimiliki investor barat menjalankan proses kolonialisasi ini lewat mass media. (lihat Hoggart, 1978:1: The Mass Media a New Colonialism?, The Eighth STC [Standard Telephones and Cables Limited] Communication Lecture )

[8] Davidson via Said (1993: 283) menyebutnya kebutuhan untuk menemukan landasan ideologis bagi suatu kesatuan yang lebih luas dibanding yang pernah dikenal sebelumnya.(Edward. W. Said:. Kebudayaan dan Kekuasaan (terj. Cultural and Imperialism. Penerbit Mizan 1995)

[9] Salah satu gugatan terhadap realitas internal colonialism ini dilakukan oleh seorang alumnus ITB Bandung yang juga dosen di ITENAS Bandung, lewat sebuah tulisan berjudul Desain sebagai simbol : Menggugat Istana Presiden (Kompas, 18 Mei 2003)

[10] Beberapa saat yang lalu terjadi polemik diantara Menko Ekuin, Dorojdatun Kuntjoro Jakti dan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie mengenai eksistensi IMF dalam recovery perekonomian Indonesia.

[11] Kelemahan itu salah satunya adalah akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.

[12] Lembaga yang dimaksud ditekankan pada pentingnya menata suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting dan merupakan sistem hubungan sosial serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar masyarakat ( lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sociology, McGraw Hill, Inc. 1984. Chapter 9). Lembaga dalam pengertian ini berbeda dengan asosiasi. Di Indonesia sendiri (sepengetahuan penulis) sudah terbentuk 2 asosiasi yang berkaitan dengan penerjemahan, yang pertama adalah Himpunan Penerjemah Indonesia dan Pusat Penerjemahan Nasional

[13] Lembaga Bahasa eksis berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 079/O Tahun 1975, yang diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0222g/O/1980, Pusat Bahasa ditetapkan sebagai pelaksana tugas di bidang penelitian dan pengembangan bahasa yang berada langsung di bawah Menteri pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Bahasa dipimpin oleh seorang kepala yang dalam melaksanakan tugas sehari-hari bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Pusat Bahasa mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pembinaan, dan pengembangan bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk menyelenggarakan tugas itu, Pusat Bahasa mempunyai fungsi sebagai (1) perumus kebijakan Menteri dan kebijakan teknis di bidang penelitian dan pengembangan bahasa; (2) pelaksana penelitian dan pengembangan bahasa, serta membina unit pelaksana teknis penelitian bahasa di daerah; (3) pelaksana urusan tata usaha pusat. (Sumber: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta, 2002). Penulis berpendapat bahwa Pusat Bahasa merupakan sebuah bentuk internal colonialism karena penulis yakin Pusat Bahasa tidak pernah ada di Indonesia apabila cikal bakalnya ITCO (Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek yang didirikan oleh Pemerintah Belanda tidak pernah ada.

[14] Teks – teks terjemahan yang ada saat ini banyak yang tidak memenuhi standar dan bahkan hasil terjemahannya tidak berkualitas. Selain itu tidak terjadi link and match antara teori dan praksis. Dunia akademik menyibukan diri dengan teori dan konsep sementara praksisnya digeluti oleh mereka yang seringkali tidak begitu paham mengenai teori penerjemahan. Banyak bermunculan penerjemah – penerjemah amatiran, baik individu maupun kelompok yang dengan beraninya menerjemahkan teks dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya dengan tidak berbekal teori mengenai penerjemahan. Selain itu banyak teks yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tidak sesuai dengan konteks Indonesia dan bahkan seringkali teks – teks tersebut tidak mendidik ( beberapa terjemahan komik – komik Jepang misalnya).

No comments: