RUMIT DAN PELIKNYA MENERJEMAHKAN PUISI TRADISIONAL JAWA
Djatmika
Universitas Sebelas Maret
Abstract
Seperti bentuk puisi tradisional pada umumnya, tembang Macapat mempunyai aturan rima dan meter. Di dalam istilah Jawa, aturan rima ini disebut sebagai guru lagu, sedangkan aturan meter (bilangan suku kata untuk setiap barisnya) disebut sebagai guru wilangan. Kedua aturan tersebut mutlak dipenuhi karena berdasarkan kedua aturan ini, tembang Pucung tersebut mempunyai notasi lagu yang khusus. Dengan kata lain apabila ke dua aturan tersebut dilanggar maka notasi lagu tembang ini akan bergeser atau berubah (sehingga tidak dapat lagi diterima sebagai sebuah tembang Pucung). Selain itu sebuah tembang Pucung haruslah bernafaskan keceriaan dan kegembiraan, serta biasanya sebuah tembang Pucung itu berisikan sebuah tebakan.
Bahasa Jawa sebagai bahasa yang berusia tua dapat menfasilitasi semua aturan yang dibutuhkan oleh tembang ini. Dengan asumsi bahwa semakin tua bahasa semakin banyak perbendaharaan kata yang dipunyainya, maka seseorang akan dengan mudahnya membuat tembang Pucung yang sesuai dengan rambu-rambu di atas. Selain itu Bahasa Jawa juga mengenal beberapa eksploitasi kebahasaan yang dapat dilakukan untuk mengejar pemenuhan aturan puisi ini. Pengalih bahasaan sebuah tembang Pucung akan sangat problematik apabila dilakukan ke dalam sebuah bahasa yang relatif muda usianya seperti ke dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan bahasa muda akan sangat terbatas perbendaharaan katanya untuk memfasilitasi aturan-aturan yang dibutuhkan untuk sebuah tembang Pucung, selain itu di dalam Bahasa Indonesia juga tidak mengenal beberapa ekploitasi kebahasaan yang dimiliki oleh Bahasa Jawa di dalam upaya mengejar aturan untuk puisi ini. Strategi kompensasi dapat dilakukan untuk mengurangi kerumitan dan kesulitan menerjemahkan tembang Pucung dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia; namun demikian seorang penerjemah masih mendapatkan beberapa permasalahan lain yang perlu dicarikan pemecahannya.
Kata-kata Kunci: puisi tradisional, meter, rima, Pucung, kompensasi
Pendahuluan
Kegiatan penerjemahan merupakan aktifitas yang banyak dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan berbagai tujuan yang melekat pada kegiatan ini, maka proses penerjemahan itu dilakukan atas segala macam bidang garapan, misalnya penerjemahan dilakukan untuk mentransfer teori-teori berbagai bidang keilmuan dari sebuah bahasa sumber ke dalam salah satu bahasa sasaran. Kegiatan penerjemahan juga dilakukan misalnya untuk mengalihbahasakan karya-karya sastra dengan bermacam bentuk, misalnya karya drama, prosa dan puisi. Masing-masing bentuk utama karya sastra ini mempunyai ciri-ciri dan kharakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka kegiatan penerjemahan yang dilakukan untuk bidang garapan karya sastra ini akan mempunyai problematik dan kerumitan yang berlainan pula. Dari berbagai bentuk karya sastra di atas, puisi diyakini sebagai bentuk yang paling susah dan paling rumit untuk dialih-bahasakan.
Puisi, khususnya yang tradisional, di dalam bahasa dan budaya manapun selalu diciptakan dan dikreasi di dalam kerangka-kerangka aturan konvensional. Apabila salah satu dari aturan-aturan dari puisi tradisional ini tidak terpenuhi di dalam penciptaannya, maka dapat dikatakan bahwa puisi tersebut bukanlah puisi tradisional dengan jenis dan nama yang seharusnya dapat diterima oleh budaya yang mempunyainya. Sebagai gambaran, di dalam budaya masyarakat Inggris dikenal beberapa puisi tradisional yang masing-masing dibatasi dalam aturan rhythm and metre, dan jumlah stanza (bait) yang berlainan. Aturan ini memberikan kerangka pada ketukan periodik yang reguler pada unit-unit bahasa yang dipergunakan di dalam puisi tradisional dengan mengeksploitasi tekanan atau stress pada suku kata-suku kata tertentu yang dikaitkan dengan panjang pendeknya unit bahasa yang dipergunakan per baris di dalam puisi tersebut. Pada giliran selanjutnya, aturan-aturan ini menjabarkan beberapa konsep di dalam puisi tradisional Inggris, misalnya foot, sebuah unit yang terdiri dari suku kata dengan tekanan dan suku kata tanpa tekanan--ada empat jenis, yaitu IAMB (x /), TROCHEE (/ x), ANAPEST (x x /), DACTYL (/ x x). Sedangkan panjang pendeknya baris (lines) dari sebuah puisi tradisional Inggris, jika diukur dengan jumlah foot untuk tiap-tiap barisnya akan menunjukkan jenis-jenis sebagai berikut: dimeter, trimeter, tetrameter, dan pentameter. Berdasarkan aturan-aturan ini, maka sebuah puisi tradisional Inggris akan disebut sebagai sebuah Sonnet (jenis Shakespearean) apabila puisi ini ditulis dengan bentuk iambic pentameter quatrins yang diikuti oleh sebuah iambic pentameter couplet sebagai berikut: abab abab aa. (untuk lebih jelasnya lihat Leech, 1969; Leech dan Short, 1981; Bradford, 1997).
Contoh lain dapat dilihat dari puisi tradisional Pantun di dalam bahasa Melayu. Jika kita melihat sebuah pantun yang berikut:
Kucing kurus mandi di papan
Papannya si kayu jati
Badan kurus bukan kurang makan
Karna memikirkan si jantung hati
maka puisi tradisional di atas menunjukkan penulisan dengan kerangka aturan sebagai berikut: (1) pola rima abab, (2) dua couplet pertama disebut sebagai sampiran yang dipergunakan secara puitik mengantarkan isi dua couplet berikutnya yang disebut sebagai isi pantun.
Sedangkan di dalam masyarakat Jawa, bentuk-bentuk puisi tradisional ini sangat banyak ragamnya dengan ragam aturan yang berbeda-beda untuk jenis puisi yang berbeda. Jenis-jenis puisi yang dapat ditemukan di dalam masyarakat Jawa dan ditulis serta dikreasikan di dalam Bahasa Jawa adalah Tembang Gedhe, Tembang Tengahan, dan Tembang Macapat. Masing-masing klasifikasi ini masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub jenis, yaitu: Girisa untuk Tembang Gedhe, Jurudemung, Wirangrong, Balabak, dan Dudukwuluh untuk Tembang Tengahan; Dandanggula, Sinom, Asmaradana, Kinanthi, Pangkur, Durma, Mijil, Pucung, Gambuh, dan Megatruh untuk Tembang Macapat (lihat Harjowirogo dan Sulistijo, 1980).
Pembahasan makalah ini memfokuskan pada salah satu Tembang Macapat dengan dasar pemikiran bahwa jenis tembang ini lebih banyak dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa (daripada kedua jenis tembang yang lain); dan dari sepuluh sub jenis Tembang Macapat tersebut, di dalam contoh dan pembahasan yang lebih detil akan dipilih tembang Pucung juga dengan alasan yang tidak jauh berbeda –yakni jenis tembang inilah yang masih populer di dalam masyarakat Jawa dengan asumsi lebih banya orang Jawa yang masih dapat melagukan puisi ini.
Pembahasan
Sebagai salah satu jenis tembang macapat Jawa, Pucung merupakan tembang pendek yang terdiri dari empat baris (padalingsa)dengan warna dan isi riang dan jenaka serta dengan nada lagu yang sangat mudah untuk dihafalkan dan dilagukan. Meskipun tidak semua, tembang jenis ini sering berisi tentang tebakan atau cangkriman, dalam artian bahwa isi dari keseluruhan bait (pada) nanti pada akhirnya akan mengarahkan kepada siapa/apa si Bapak Pucung itu.
Seperti halnya puisi tradisional Inggris, tembang ini juga diatur dalam hal meter, rhythm dan rimanya. Aturan-aturan yang dikenakan agar sebuah tembang itu dapat masuk kategori Pucung adalah sebagai berikut. Setiap pada atau bait terdiri dari empat baris (padalingsa). Setiap baris mempunyai jumlah suku kata tertentu, yaitu 12, 6, 8, dan 12, dalam artian baris pertama terdiri dari 12 suku kata, baris kedua 6, baris ketiga 8, dan baris terakhir 12 suku kata. Selain itu setiap baris/ pada tersebut harus jatuh pada bunyi vokal tertentu yang disebut sebagai guru lagu. Baris pertama dari tembang ini harus jatuh pada vokal /u/, baris kedua pada vokal /a/, baris ketiga pada vokal /i/ dan baris keempat pada vokal /a/. Berdasarkan dua jenis aturan ini, maka sebuah tembang Pucung itu akan mempunyai notasi lagu yang khusus.
Sedangkan pengaturan ritme untuk tembang ini tidak dikenakan seketat aturan meter dan rima. Untuk ritme, di dalam tembang jenis ini (dan juga tembang macapat jenis yang lain) diatur dengan merekayasa apa yang disebut sebagai purwakanthi gurubasa atau guruswara. Namun demikian, eksploitasi bahasa untuk mengejar ritme tertentu itu kadang-kadang diabaikan. Oleh karena itu untuk pembahasan di dalam makalah ini contoh tembang Pucung yang menjadi subjek bahasan tidak akan disorot mengenai keindahan ritmenya, namun akan lebih difokuskan pada pengaturan keindahan tembang melakui guruwicalan (meter) dan guru lagu (rhyme). Contoh tembang Pucung di bawah ini memberikan gambaran yang lebih jelas.
Pucung
Bapak Pucung cangkemmu marep mandhuwur 12u
Sabamu ing sendhang 6a
Pencokanmu lambung kering 8i
Prapteng wisma si Pucung mutah kuwaya 12a
Tembang ini mengajak orang yang mendengarkan atau yang menyanyikan untuk menebak siapa Bapak Pucung yang dimaksud dengan ciri-ciri yang dituangkan di dalam masing-masing baris. Untuk mengejar aturan meter dan rhyme sehingga tembang ini dapat dilagukan sesuai dengan notasi lagu Pucung, maka penulis melakukan pemilihan kata-kata yang dapat memenuhi kebutuhan guru lagu/ rima, yaitu kata kering dan bukan kata kiwa; kata kuwaya dan bukan kata banyu, toya, warih, her, tirta dsb. Selanjutnya yang perlu menjadi catatan adalah bahwa tebakan siapa/ apa Bapak Pucung di dalam tembang ini adalah klenthing, sebuah alat pengangkut air tradisional di Jawa yang terbuat dari tanah liat seperti gentong kecil. Alat ini dipergunakan untuk mengambil air dari sumber air dengan cara menempatkannya di pinggang (biasanya sebelah kiri, karena tangan kanan harus memegang mulut benda ini). Alat ini hanya dapat ditemukan di daerah pedesaan yang sulit mendapatkan air bersih, sehingga harus mengambilnya dari sumber mata air.
Berkaitan dengan masalah pengalih-bahasaan bentuk puisi tradisional ini, maka seorang penterjemah yang ingin mengalih-bahasakan tembang Pucung di atas, misalnya ke dalam Bahasa Indonesia, akan menghadapi beberapa kendala. Masalah utama yang dihadapi penterjemah adalah menemukan padanan yang sesuai di dalam Bahasa Indonesia yang sekaligus bisa dipergunakan untuk memenuhi aturan meter dan rima yang diminta oleh tembang ini. Hal ini dapat dimengerti, masyarakat pengguna bahasa ini telah mempunyai tradisi tulis sejak abad ke delapan dengan mempergunakan jenis bahasa ini sebagai medianya (Crystal, 1997). Usia tua ini mengasumsikan bahwa bahasa ini mempunyai perbendaharaan kata yang sangat banyak dengan pilihan kata yang banyak untuk mengacu ke satu makna. Sedangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran dapat dikategorikan sebagai bahasa yang masih tergolong usianya, sehingga perbendaharaan kosa katanya kurang memberikan keleluasaan bagi penterjemah di dalam memenuhi aturan meter dan rima untuk hasil terjemahannya.
Dengan masih terbatasnya tebaran kosa kata yang ada di dalam Bahasa Indonesia, maka pencarian padanan sebuah kata dari Bahasa Jawa yang dipergunakan di dalam sebuah tembang jenis ini akan mengalami sedikit kesulitan, terutama didalam upaya memenuhi kriteria aturan rima dan meter. Sebagai contoh, kata terakhri dari baris terakhir, kuwaya, di dalam Bahasa Jawa mempunyai makna air. Kalau di dalam Bahasa Jawa, seperti yang telah dijelaskan di atas, kata ini mempunyai banyak pilihan (polisemi), seperti banyu, tirta, toya, her, dan warih; di dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran fasilitas tersebut tidak diketemukan, karena hanya satu kata air yang dapat menjadi padanan kata kuwaya tersebut. Tentu saja jika dilihat dari segi rima dan jumlah suku kata, kata air ini tidak dapat menggantikan kata kuwaya dalam pemenuhan aturan tersebut.
Aspek lain yang tidak dimiliki oleh Bahasa Indonesia adalah aturan sandhi, meleburkan dua kata menjadi satu seperti yang ditunjukkan oleh kata prapteng di atas. Di dalam Bahasa Jawa, fasilitas ini (penggabungan sebuah sebuah kata kerja dan kata preposisi) sering dipergunakan didalam berkreasi tembang, khususnya di dalam upaya mengejar aturan rima dan meter. Kata prapteng merupakan gabungan kata prapta dan ing, yang mempunyai makna datang di. Kalau di dalam Bahasa Jawa, proses penggabungan ini dilakukan untuk mengurangi jumlah suku kata sehingga dapat memenuhi aturan meter, hal ini sebaliknya tidak dapat dilakukan di dalam Bahasa Indonesia, misalnya bentuk dateng adalah tidak berketerima.
Kendala ketiga adalah isi tembang. Seperti yang telah dikemukakan di atas, sebuah tembang Pucung itu sering berisikan tentang sebuah cangkriman, atau tebakan, dan sesuatu yang menjadi tebakan itu biasanya sangat bermuatan kultur budaya Jawa yang mungkin akan sangat sukar untuk dicarikan padanan atau setidaknya dikonsepkan di dalam bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia. Cangkriman atau tebakan yang dimaksudkan oleh tembang di atas adalah sebuah klenthing, alat pengangkut air yang dipergunakan oleh masyarakat di Jawa, khususnya di daerah yang kekurangan air. Alat ini terbuat dari tanah liat, berbentuk seperti gentong berukuran sedang. Untuk mengangkut air dari sebuah sumber mata air, maka cara membawa alat ini adalah dengan menaruh pantatnya di pinggang. Untuk orang yang tidak kidal, maka penempatan pantat klenthing adalah di sebelah kiri (sehingga tangan kanan kanan dapat memegangi leher benda ini). Semua deskripsi inilah yang dituangkan di dalam tembang di atas untuk ditebak oleh para pembaca/ pendengar tembang yang dilagukan.
Selanjutnya, di dalam upaya memberikan petunjuk ke arah benda yang harus ditebak sekaligus membuat suasana dan warna sebuah tembang Pucung itu riang, maka sering seorang kreator mengeksploitasi berbagai gaya bahasa, misalnya personifikasi di dalam tembang di atas dengan mengatakan sabamu ing sendhang. Kata saba biasanya dilekatkan pada seekor binatang yang artinya pergi dan berada di sekitar suatu tempat. Personifikasi lain yang dipergunakan adalah kata mencok yang biasa dilekatkan kepada binatang. Jika kemudian kata-kata ini ditujukan untuk sebuah benda pengangkut air, maka pencipta tembang ini terlihat sedang membuat suasana ‘menantang’ pembaca/pendengar untuk berpikir putar, yang akhirnya setelah mengetahui bahwa tebakannya adalah sebuah benda dan bukan seekor binatang maka suasana riang akan tercipta.
Bagaimana Strategi Menerjemahkannya?
Setelah melihat berbagai problem dan masalah yang muncul di dalam proses penerjemahan puisi tradisional berbahasa Jawa ke dalam suatu bahasa sasara, dalam hal ini Bahasa Indonesia, maka hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam proses pengalih-bahasaan ini adalah sebagai berikut:
Memahami konteks budaya yang melatarbelakangi puisi yang diterjemahkan
Seperti yang telah dikemukakan di atas, sebuah puisi tradisional di dalam bahasa apapun akan sarat muatan yang bersifat specific cultural. Seperti tembang Pucung yang dicontohkan di atas, muatan kultur yang disajikan adalah isi cangkriman atau tebakan dari tembang yang bersangkutan, yaitu klenthing (atau jun). Karena alat ini mungkin hanya dapat diketemukan di dalam masyarakat tertentu, maka apabila bahasa sasaran dari penerjemahan ini adalah bahasa dari sebuah masyarakat yang tidak mempunyai alat ini, maka seorang penerjemah akan sangat mengalami kesulitan untuk mentransfer konsep benda yang bersangkutan ke dalam bahasa sasaran. Dengan demikian maka resikonya adalah bahwa penerjemah akan menggantikan benda tersebut dengan benda lain dengan fungsi yang dapat diketemukan di dalam bahasa sasaran, misalnya jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka penerjemah dapat menggantikannya dengan ember..
Merekayasa kosa kata baru sebagai padanan kata dari bahasa sumber
Dikarenakan perbedaan jumlah perbendaharaan kosa kata yang berlaian antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka permasalahan tentang pencarian padanan dapat dilakukan dengan cara membuat atau mempergunakan kata lain sebagai padanan yang seharusnya bagi kata-kata dari bahasa sasaran. Biasanya kata-kata yang sulit dicarikan padanan adalah kata-kata atau ekspresi-ekspresi yang bermuatan cultural (hal ini juga berkaitan dengan apa yang telah dituangkan di atas). Sebagai misal, di dalam tembang di atas kata sendang merupakan istilah yang kultural, karena kata yang bermakna tempat penampungan air sekaligus mata air ini di dalam bahasa lain kemungkinan sangat sulit dicarikan padanan. Apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka kata kolam misalnya tidak dapat menggantikan dengan pas kata tersebut, karena kata kolam hanya bermakna tempat penampungan air minus sumber mata air; sedangkan kata rawa juga tidak dapat menggantikan dengan tepat berkaitan dengan ciri dan karakteristiknya.
· Melakukan kompensasi terhadap hal-hal yang sekiranya tidak dapat diterjemahkan. Kerumitan dan kesulitan materi-materi atau hal-hal yang bersifat kultural dan hanya dapat diketemukan di dalam bahasa sumber di atas dapat dikurangi dan dilimitasi dengan menggunakan strategi kompensasi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Higgins, dkk. (1999) bahwa kompensasi itu dapat dilakukan berkaitan dengan perekayasaan salah satu tipe efek tekstual di dalam teks sumber dengan tipe lain di dalam teks sasaran. Kompensasi sendiri mempunyai bentuk-bentuk khas sebagai berikut: makna-makna eksplisit yang tertuang di dalam teks sumber digantikan dengan makna-makna yang bersifat implisit di dalam teks sasaran; hal yang lain adalah kata-kata yang bermakna konotatif di dalam teks sumber dapat digantikan oleh kata-kata yang bermakna harafiah di dalam teks sasaran; dan lelucon-lelucon yang tertuang di dalam teks sumber dimunculkan dengan cara lain di dalam teks sasaran. Apabila teks Pucung di dalam makalah ini akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka kurang lebih hasilnya akan seperti berikut ini:
Bapak Pucung ke atas hadap mulutmu 12u
Di sumur tempatnya 6a
Bergelantung pada tali 8i
Naik turun hanya air yang dibawa 12a
Salah satu yang dikompensasikan dari teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran adalah isi cangkriman atau tebakan dari tembang yang bersangkutan. Karena klenthing kemungkinan tidak mudah diketemukan di dalam masyarakat pengguna Bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran, maka ember dapat menggantikan isi tebakan puisi ini di dalam Bahasa Indonesia. Dengan demikian maka ciri-ciri tebakan ini pada akhirnya mengubah bentuk tekstual teks di dalam bahasa sasaran.
Penutup
Puisi tradisional Jawa, seperti puisi tradisional pada umumnya, memang sangat sulit dan rumit untuk dialih-bahasakan ke dalam bahasa lain. Bahkan beberapa pakar penerjemahan menyatakan bahwa jenis teks ini, yang dikarenakan kandungan budaya yang sarat, tidak dapat diterjemahkan. Namun demikian, seharusnya fenomena ini malah menjadikan sebuah tantangan bagi para pakar maupun praktisi penerjemahan untuk mencari strategi mengalih-bahasakan kandungan-kandungan atau isi dari puisi-puisi tradisional Jawa ke dalam sebuah bahasa sasaran. Kalau Bhagavadgita yang ditulis dalam bentuk puisi tradisional India berbahasa Sanskerta sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa sasaran berkaitan dengan banyaknya orang yang tertarik memahami kandungan ajaran di dalam kitab ini; atau jika berbagai kitab suci agama yang tertulis di dalam sebuah bahasa telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa sasaran (misalnya Al Qur’an, atau kitab suci ajaran Harekhrisna) dikarenakan semakin banyaknya orang yang mengikuti ajaran dari kitab tersebut, maka apabila suatu saat nanti ajaran filosofis kehidupan orang Jawa menjadi sesuatu yang menarik bagi banyak orang di berbagai belahan bumi, padakah sebagian besar ajaran kehidupan ini dituangkan di dalam bentuk tembang-tembang, maka mau tak mau kegiatan menerjemahkan tembang-tembang Jawa ini harus dilakukan.
Salah satu strategi yang dapat mengurangi kerumitan dan kesulitan di dalam menerjemahkan tembang Jawa adalah apa yang disebut dengan strategi kompensasi. Dengan menerapkan strategi ini, maka hal-hal yang tidak dapat dicarikan padanan di dalam bahasa sasaran dapat dicarikan pengganti atau dikompensasi di dalam bahasa tersebut. Namun demikian, meskipun sudah diterapkan strategi ini, penerjemahan tembang ini masih banyak menyisakan permasalahan; hal inilah yang harus dipecahkan oleh para pakar dan praktisi penerjemahan!
Bibliografi:
Bradford, R. 1997. Stylistics. London: Routledge.
Crystal, D. 1997. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Hardjowirogo, R, dan Sulistijo, HS. 1980. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.
Hervey, S., Higgins, I., and Haywood, L.M. 1999. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: Spanish to English. London: Routledge.
Leech, G.N. 1969. A Linguistic Guide to English Poetry. London: Longman.
Leech, G.N., and Short, M.H. 1981. Style in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.
No comments:
Post a Comment