Sunday, November 01, 2009

Negri 5 MEnara: Novel Motivasi dan Kocak


Novel ini bertaburan motivasi dan kocak. Misal:

"Man jadda wajada” (siapa yang bersungguh- sungguh, akan berhasil)

”Pilihlah suasana hati kalian dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian. Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya adalah hati orang sukses.”

”Saajtahidu fauqa mustawal al-akhar, aku akan berjuang di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,00 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan”.


Sukses dengan "Man Jadda Wajada"

"Man jadda wajada” (siapa yang bersungguh- sungguh, akan berhasil). Mantra berbahasa Arab ini sepertinya akan sering dibaca. Lirih, diam-diam, dirapal dalam hati, atau bahkan diteriakkan dengan kencang oleh jutaan orang yang masih memiliki harapan dan impian untuk berubah menjadi lebih baik, bagi dirinya pun bagi masyarakat.

Tren ini rasanya tidaklah mustahil terjadi. Sejak resmi diluncurkan Agustus lalu di sejumlah toko buku terkemuka di Tanah Air, Negeri 5 Menara (N5M) disajikan sebagai santapan sahur dan berbuka selama Ramadhan. Tampak, man jadda wajada sudah menunjukkan sihirnya. Mantra ini ditulis sebagai ID status di YM, Facebook, atau menjadi kutipan dalam blog oleh siapa saja. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa. Baik mereka yang paham bahasa Arab dan sudah mengenal mantra itu sebelumnya ataupun yang baru mendapatkan setelah membaca buku karya A Fuadi ini.

Cerita yang diangkat N5M sebenarnya sederhana dan jamak ditemui. Kisah seorang anak (Alif) yang harus merantau dari tanah Minangkabau ke Jawa (Ponorogo) untuk meneruskan sekolah di Pondok Madani (PM). Di PM, ia berkawan karib dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Keenamnya kemudian dijuluki sahibul menara (orang yang memiliki menara) karena kebiasaan mereka yang sering berkumpul di bawah menara masjid sembari menunggu azan magrib. Saat berkumpul itulah setiap anak berbagi mimpi dan harapan.

Lanjutan kisah N5M bisa ditebak. Sahibul menara akhirnya dapat mencapai impian mereka. Baso yang tidak menyelesaikan sekolah di PM karena harus merawat neneknya yang sakit, bisa kuliah di Mekkah dengan bekal hafalan seluruh isi Al Quran. Atang menjadi mahasiswa program doktoral di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Raja menetap di London setelah sebelumnya menyelesaikan kuliah hukum Islam di Madinah. Sedangkan Alif, yang merupakan representasi sang penulis, berkesempatan melanjutkan studi di Washington DC. Bagaimana dengan Said dan Dulmajid? Dua sahibul menara itu juga mendapatkan impiannya: pulang ke kampung halaman dan memajukan pendidikan di sana.

Motivasi

Bukan hasil akhir para tokohnya yang membuat N5M menarik dibaca dan menjadi santapan nikmat penyejuk jiwa. Proses, perjuangan, dan ikhtiar mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi, selain mantra man jadda wajada, pembaca juga disuguhi kutipan-kutipan penuh motivasi di setiap babnya.

Misalnya, Ustaz Salman sebagai wali kelas membakar semangat anak didiknya agar tetap konsisten dalam belajar (hal 108) mengatakan, ”Pilihlah suasana hati kalian dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian. Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya adalah hati orang sukses.”

Atau, saat Said, sahibul menara yang paling tua, memotivasi teman-temannya (hal 383). ”Saajtahidu fauqa mustawal al-akhar, aku akan berjuang di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,00 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjadi juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih baik dari orang kebanyakan”.

Latar belakang cerita, yaitu pondok, juga menjadikan novel ini istimewa. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu alumnus pesantren serasa diajak bernostalgia dengan semua aktivitas mereka selama 24 jam dan tujuh hari seminggu dalam suasana kebersamaan yang pernah mereka rasakan dulu. Bila belum mengenal pondok dan hanya mendengar melalui pemberitaan, melalui mata Alif dalam gaya tulisan Fuadi yang detail, pembaca diajak mengetahui kehidupan di dalamnya yang sangat dinamis.

Alih-alih mengenakan sarung seharian, santri PM diajari berpakaian penuh gaya. Sepatu mengilat dan kemeja berdasi yang disempurnakan dengan jas, dikenakan saat berpidato pada kegiatan muhadharah tiga kali seminggu dalam bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Kemampuan verbal mereka dan keberanian berbicara di depan publik diuji dalam sesi ini.

Pendidikan

Pola pendidikan di PM dan semua aktivitas yang wajib diikuti seluruh santri sangat mendukung perkembangan kognitif, afektif, sekaligus motorik. Kognitif mereka tak hanya diasah saat proses belajar-mengajar dalam kelas, tapi juga ketika jam wajib belajar malam serta melalui klub-klub ekstrakurikuler.

Psikomotorik mereka dilatih melalui kewajiban mengikuti kegiatan pramuka dan klub olahraga. Perhelatan Liga Madani, sepak bola antar-asrama, yang selalu ditunggu menunjukkan betapa olahraga sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi para santri. Bahkan, sang kiai pun tak canggung berganti pakaian dengan kostum sepak bola dan menyepak si bulat bundar itu ke gawang. Lalu, afektif? Secara otomatis terasah ketika setiap santri harus berinteraksi dengan ribuan teman yang datang dari berbagai daerah berbeda di Tanah Air. Berinteraksi dan bersosialisasi dengan mereka, 24 jam sehari.

Jadi, ketika saat ini perguruan tinggi beramai-ramai menunjukkan dan mempromosikan program soft skills yang diberikan untuk menarik minat mahasiswa, PM sudah memberikannya secara berkesinambungan selama empat hingga enam tahun untuk setiap santri. Kepemimpinan mereka dilatih melalui kegiatan organisasi, mulai dari yang terkecil di lingkup kelas, kamar, klub, hingga organisasi di asrama dan pusat. Kesenian digembleng dan ditunjukkan melalui pergelaran seni akbar untuk kelas lima dan enam. Sebuah proses pembelajaran yang menggabungkan kinerja otak kiri dan kanan, menyelaraskan antara intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).

Tanggung jawab ustaz (guru) berkelanjutan, tak hanya mengajar di kelas, tetapi juga siap ditanyai apa pun di luar jam pelajaran. Bahkan menyediakan waktu khusus menjelang ujian membantu para santri saat belajar. Metode ini bisa menjadi referensi bagi para guru dalam mendidik siswa-siswinya bahwa menjadi pendidik tak otomatis berhenti ketika bel pulang sekolah dipukul dan ruang kelas ditutup.

Membicarakan novel fiksi yang ditulis berdasarkan kisah nyata dan yang rencananya akan dibuat trilogi ini memang tak ada habisnya. Bisa ditinjau dari berbagai aspek, seperti hubungan orangtua-anak, pendidikan, spiritual, olahraga, psikologi, seni, jurnalistik, motivasi, dan banyak lagi.

Yang pasti, novel yang bisa membawa pembacanya menangis terharu dan tertawa terbahak karena humor-humor ala pondok yang khas ini, mengajak Anda berani bermimpi dan memperjuangkannya. Jangan pernah meremehkan mimpi, walau setinggi apa pun. Karena, sungguh Tuhan Maha Mendengar (hal 405). Selamat bermimpi dan man jadda wajada.

Dewi Yuhana Alumnus Pondok Modern Gontor Putri, Direktur Nyiru Savira Consulting & Training

1 comment:

De said...

aku udah baca novelnya sekaligus mengkoleksinya.
bagus banget novelnya
memang bikin kita terinspirasi dan termotivasi
sering2 aja terbit buku kayak gini, pasti asik banget