Thursday, September 22, 2005

[Translation] Sulit & Rumit

MENERJEMAHKAN ITU SULIT DAN RUMIT

Oleh
Prof. Dr. Thomas Soemarno, M. Pd
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
2003

ABSTRAK
Anggapan bahwa penerjemahan itu mudah sama sekali salah karena seseorang yang sangat menguasai kedua bahasa yang dilibatkan dalam penerjemaan bukanlah suatu jaminan bahwa dia dapat menjadi seorang penerjemah yang handal. Ada sejumlah persyaratan yang lain yang tidak mudah dipenuhi oleh seorang penerjemah karena penerjemahan itu sukar dan rumit.

I. PENDAHULUAN

Banyak orang berpendapat bahwa menerjemahkan itu tidak sulit. Ini dapat diketahui dari banyaknya biro penerjemahan yang muncul di sekitar Perguruan Tinggi Negeri atau pun Swasta. Orang-orang yang memiliki sedikit penguasaan bahasa asing (baca = bahasa Inggris) sudah berani menjadi seorang penerjemah. Bahkan masih ada sementara orang yang memiliki pengetahuan linguistik yang cukup juga beranggapan bahwa menerjemahkan itu tidak sukar. Orang-orang ini kurang mengetahui apa sebenarnya penejermahan itu.

Penerjemahan adalah bersifat interdisipliner. Ini berarti ilmu penerjemahan itu memerlukan ilmu pengetahuan lain yang bersifat mendukung, seperti halnya sosiolinguistik, psikolinguistik, budaya, pengetahuan umum dan sebagainya. Di dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai penjelasan mengapa penerjemahan itu dianggap sulit dan rumit.

II. PROSES PENERJEMAHAN

Orang yang berusaha memperoleh pengetahuan mengenai penerjemahan paling tidak harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Proses Penerjemahan. Soemarno mengatakan bahwa proses penerjemahan ialah langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada waktu dia melakukan penerjemahannya (1997: 13). Salah satu Proses Penerjemahan yang seringkali dianut oleh banyak teoritisi penerjemahan adalah Proses Penerjemahan karya Nida (1975: 80).

Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah:
1. Analisis
2. pemindahan (Transfer)
3. Penyelarasan ( Restructuring)

Tahap Pertama
Pada ‘Tahap Pertama’, sebelum seorang penerjemah menganalisis teks yang akan diterjemahkan, ia akan dihadapkan dengan sebuah teks Bahasa Sumber (Bsu), misalnya Bahasa Inggris. Pada waktu seorang penerjemah menghadapi teks Bsu, dia harus memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang diterjemahkan itu. Kalau tidak, dia tentu akan mengalami kesulitan yang serius. Misalnya seorang penerjemah yang tidak menguasai bidang kedokteran diminta menerjemahkan teks-teks atau materi-materi di bidang kedokteran, dia tentu akan mengalami kesulitan yang serius dalam memahami isinya. Pada hal penerjemahan amat tergantung pada mampu tidaknya seorang penerjemah memahami teks yang akan diterjemahkan itu. Kegagalan dalam memahami teks itu akan berakibat penerjemahannya melenceng dari isi (content) atau pesan (message) teks bahasa sumbernya (Bsu). Apabila teks yang akan diterjemahkan itu berisi materi yang bersifat umum atau berisi materi yang ditekuninya, mungkin si penerjemah dapat bekerja sendiri dan tidak meminta bantuan orang lain dalam menganalisis isinya. Tetapi apabila teks yang diterjemahkan itu berisi materi dari suatu disiplin yang tidak dikuasai oleh si penerjemah, dia perlu atau seharusnya meminta bantuan orang lain yang lebih ahli dalam bidang itu, kalau tidak dikhawatirkan isi hasil terjemahannya akan sangat menyimpang.

Di samping seorang penerjemah harus menguasai masalah pokok dari materi yang diterjemahkan itu, dia harus pula menguasai Bsu dengan baik sekali dan bahkan hampir sempurna. Menguasai Bsu di sini diartikan bahwa seorang penerjemah harus mampu menganalisis teks itu dengan rinci sekali dari sisi kebahasaannya. Tujuan penganalisisan dari aspek kebahasaannya ini dimaksudkan bahwa si penerjemah harus mampu menganalisis pola kalimatnya, struktur bahasanya, kolokasinya, idomnya, peribahasanya (kalau ada), gaya bahasanya, kata-katanya, dan sebagainya dengan sangat rinci dan cermat agar tidak ada butir-butir isi atau maknanya yang hilang. Pokoknya seorang penerjemah harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan dalam teks Bsu itu dengan tujuan agar dia dapat memahami seluruh isi atau maknanya. Ini tidak mudah. Biasanya seorang penerjemah masih menemui kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kebahasaan yang digunakan dalam Bsu itu. Dalam hal demikian biasanya si penerjemah masih harus berkonsultasi atau meminta bantuan orang lain yang menguasai Bsu dengan lebih baik, dan dapat memberikan bantuan apabila diperlukan.

Di samping menguasai Bsu, si penerjemah juga harus menguasai (atau paling tidak banyak mengetahui) budaya yang dilibatkan dalam Bsu karena penerjemahan itu sangat erat hubungannya dengan kebudayaan, seperti yang dikatakan oleh Toury, Translation is a kind of activity which inevitably involves at least two languages and two cultural traditions (dalam URL: http:// accurapid. Com/journal/22delight. Htm Last updated on: 10/31/2002 12: 19: 43). Selanjutnya dalam journal yang sama Nida mengatakan As this statement implies, translators are permanently faced with the problem of how to treat the cultural aspects implicit in a source text (ST) and of finding the most appropriate technique of successfully conveying these aspets in the target language (TL). These problems may vary in scope depending on the cultural and linguistic gap between the two (or more) languages concerned (see Nida 1964: 130).

Sedangkan bahasa adalah bagian dari budaya, seperti kutipan di bawah ini: A language is an intrisic part of a culture, especially, if culture is defined as a ‘tatality of knowledge, proficiency, and perception (Snell- Hornby dalam Nord: 2001: 23).

Tahap Kedua atau Tahap Pengalihan.

Yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada tahap ini ialah bahwa seorang penerjemah harus mampu mencarikan padanan untuk semua kata, frasa, klausa, kalimat, dan bahkan mencarikan padanan untuk seluruh wacana. Pencarian padanan ini terjadi di batin seorang penerjemah. Kata, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan seluruh wacana itu dicarikan padanannya dalam Bsa. Pekerjaan ini tidak mudah karena kadang-kadang terdapat ungkapan-ungkapan yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam Bsa. Malahan kadang-kadang terdapat makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan padanannya (untranslatable) dalam Bsa. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa pikiran atau gagasan yang dapat diungkapkan dalam suatu bahasa pasti juga dapat diungkapkan dalam bahasa yang lain. Tetapi tentu saja cara pengungkapannya berbeda. Tetapi harus diingat bahwa kedua ungkapan itu (Bsu dan Bsa) tidak akan sama persis maknanya. Di dalam ilmu terjemahan terjemahan yang mutlak sama itu tidak ada. Susan Bassnett dan McGuire menyatakan bahwa, ‘Once the principle is accepted that sameness cannot exist between two languages, it becomes possible to approach the question of lost and gain in the translation process (1991: 30). Kalau pembaca memperhatikan kalimat sameness cannot exist between two languages, para pembaca dapat menarik kesimpulan bahwa pernyataan di atas yang menyatakan: di dalam penerjemahan ungkapan yang sama tepat maknanya dalam bahasa yang berbeda itu tidak ada. Pernyataan itu benar. Hal yang senada juga dikatakan oleh Duff (1984: 10) sebagai berikut: The answer is, simply, that concepts do not cover exactly the fields of meaning in different languages. Dengan demikian penerjemah hanya berusaha mencarikan padanannya yang paling dekat karena setiap bahasa mempunyai sistem pengungkapan dan sistem pemaknaan yang berbeda dengan sistem pengungapan dan sistem pemaknaan dari bahasa yang lain.

Di dalam tahap ini pun seorang penerjemah sering harus meminta bantuan orang lain meskipun penerjemah itu sudah dapat dikatakan menguasai Bsu dengan amat baik karena mencarikan padanan yang sedekat-dekatnya bukanlah pekerjaan yang mudah.

Tahap Ketiga atau Restructuring.

Tahap ini sering juga disebut orang sebagai Tahap Penyelarasan. Setelah seorang penerjemah menemukan semua padanan dalam Bsa, dia harus menuangkan semua padanan itu ke dalam draft atau rencana terjemahannya. Tentu saja ungkapan-ungkapan dalam Bsa itu masih merupakan hasil terjemahan yang kasar dan bersifat sementara. Dengan demikian kalimat-kalimat itu masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Dengan kata lain draft itu masih memerlukan penyelarasan. Barangkali kalimat-kalimatnya masih tampak kaku atau masih tampak seperti kalimat-kalimat yang berasal dari kalimat-kalimat Bsu. Kalimat-kalimat terjemahan itu masih terpengaruh oleh bentuk bahasa sumbernya.

Sebuah definisi terjemahan yang dipilih oleh Bell dan ditulis di dalam bukunya yang berjudul TRANSLATION AND TRANSLATING adalah sebagai berikut: Translation is the expression in another language (or target language) of what has been expressed in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences (1991: 5). Di dalam definisi ini padanan makna dan gaya bahasa adalah sangat penting (lihat kata-kata preserving semantic and stylistic equivalences). Jadi dalam penerjemahan seorang penerjemah tidak hanya mempertahankan pesan atau amanat saja tetapi juga harus mempertahankan gaya bahasanya (style). Dengan demikian apabila teks dalam Bsu itu menggunakan gaya ilimiah, terjemahannya juga menggunakan gaya ilmiah. Apabila teks Bsu itu menggunakan gaya sastra atau gaya indah, terjemahan itu harus pula menggunakan gaya sastra atau gaya indah. Bahkan kalau dalam teks Bsu itu terdapat suatu dialog dan dalam dialog itu terdapat high status (H) dan low status (L) seperti yang terdapat dalam diglossia, terjemahannya pun harus menggambarkan kedua variasi itu. Begitu seterusnya. Ini benar-benar rumit sehingga seorang penerjemah harus tidak bekerja sendiri tetapi meminta bantuan orang lain yang lebih ahli.

Berbicara mengenai gaya bahasa Soepomo , misalnya, menyebutkan adanya gaya atau ragam bahasa, seperti: 1. ragam santai, 2. ragam resmi, 3. ragam indah, 4. ragam ringkas, 5. ragam lengkap, dan 6. ragam syair (1975: 7-8). Ada juga yang menyebutkan beberapa gaya bahasa yang lain, seperti ragam akrab, ragam tulis, ragam lisan, ragam konsultatif, ragam kasual, ragam intim, ragam beku, dan sebagainya. Mungkin dalam suatu naskah Bsu tidak hanya terdapat satu jenis ragam atau gaya bahasa saja tetapi penulis Bsu menggunakan lebih dari satu ragam atau gaya bahasa, maka seorang penerjemah juga harus mengenalinya dan menggunakan gaya-gaya bahasa yang digunakan oleh penulis asli itu.

Di dalam tahap penyelarasan ini juga tidak mudah bagi seorang penerjemah apalagi apabila penyelarasan itu hanya dilakukan oleh seorang penerjemah sendirian, tanpa meminta bantuan orang atau pakar lain. Tampaknya apabila seorang penerjemah menginginkan hasil terjemahannya bagus dan dapat dipercaya, seorang penerjemah yang bekerja sendirian hampir dapat dipastikan tidak mungkin. Dengan kata lain si penerjemah perlu bekerja dengan orang lain dalam suatu tim yang solid supaya hasil terjemahannya benar-benar bagus.

III. BUDAYA

3.1. Pendahuluan
Di bagian satu dan dua sudah disebut-sebut kata ‘budaya atau culture’. Apakah masalah budaya’ itu penting dalam penerjemahan. Uraian di bawah ini akan memberikan penjelasan seberapa jauh masalah budaya ini memainkan peranan dalam penerjemahan.

Pertama-tama harus disadari terlebih dahulu bahwa ‘budaya’ mempunyai cakup-an yang sangat luas.
Bahasa sendiri adalah suatu komponen budaya tetapi sekali gus juga merupakan bagian dari budaya. Kata ‘house’ dalam bahasa Inggris seringkali dipadankan dengan kata ‘rumah’ dalam bahasa Indonesia tetapi sebenarnya kedua padanan itu tidak sama persis maknanya. Ini disebabkan oleh karena orang Amerika, misalnya, sudah mempunyai apa yang disebut dengan ‘perangkat mental’ atau ‘mental sets’ yang berbeda dengan ‘perangkat mental’ bangsa Indonesia. ‘Perangkat Mental’, seperti yang dikatakan oleh Duff, adalah sebagai berikut: Language, too, has its mental sets: it is through them that we ‘picture’ reality in words. These mental sets may overlap between one language and another, but they rarely match exactly, and it is the translator’s difficult task to bring them as close as possible together (1981: 10).

Jadi kata ‘house’ dan ‘rumah’ tersebut dapat dikatakan sepadan (equivalent) tetapi sesungguhnya kedua kata itu tidak sama persis maknanya - they rarely match exactly. Kedua kata itu berbeda dalam beberapa hal. Kedua kata itu mungkin dapat dianggap sama secara konseptual dan fungsinya tetapi sesungguhnya mempunyai realitas yang berbeda antara rumah orang Amerika dan rumah orang Indonesia. Kalau dua buah kata yang berasal dari dua bahasa yang berbeda itu dapat dianggap sebagai padanan, penerjemah tidak begitu mendapat kesulitan tetapi kalau sebuah kata dari suatu Bsu itu tidak dikenal dalam Bsa, penerjemah akan mendapat banyak kesulitan. Dia harus memikirkan pemecahannya: Misalnya kata-kata sekaten, tedhak siti dan sebagainya (dalam bahasa Jawa) sama sekali tidak dikenal oleh bangsa lain seperti bangsa Jepang, Amerika, Perancis dan sebagainya. Lalu bagaimana pemecahannya.

Misalnya seorang penerjemah dihadapkan dengan sebuah puisi yang harus diterjemahkan. Dapatkah sebuah puisi diterjemahkan? Ini mengundang pendapat yang kontroversial.

Puisi sarat dengan muatan butir-butir budaya. Di samping itu puisi juga mengungkapkan keindahan, sedangkan keindahan dalam suatu bahasa itu bersifat unik, artinya keindahan dalam suatu bahasa tidak akan dapat dialihkan ke dalam bahasa yang lain tanpa mengubah bentuknya. Sedangkan dalam penerjemahan pesan atau amanat teks Bsu selalu harus dipertahankan dalam teks Bsa. Dengan demikian seorang penerjemah puisi sekali gus harus mempertahankan pesan atau amanat dan keindahannya. Apakah ini mungkin dilakukan oleh penerjemah? Mungkin dan bisa terjadi bahwa sebuah puisi dalam Bsu yang indah, setelah diterjemahkan, menjadi tidak indah lagi, atau sebaliknya.

Banyak sekali ungkapan-ungkapan bahasa Inggris dan Indonesia yang sarat dengan ungkapan-ungkapan budaya. Soemarno (2001) menyebutkan beberapa ungkapan budaya yang menimbulkan masalah dalam penerjemahan, seperti:

3.2. Ungkapan-ungkapan steriotip (hal: 44).

Yang dimaksud dengan ungkapan steriotip ialah ungkapan-ungkapan seperti good morning, good afternoon, good evening, good night dan sebagainya. Padanan untuk ungkapan-ungkapan semacam ini tampaknya mudah dan sederhana. Good morning (bahasa Inggris) biasanya dipadankan dengan selamat pagi. Tetapi sesungguhnya konsep morning dalam bahasa Inggris tidak sama dengan konsep pagi dalam bahasa Indonesia. Ichwal semacam ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi penerjemah.

3.3. Peristiwa Budaya (hal: 45)

Tiap-tiap negara mempunyai apa yang disebut dengan Peristiwa Budaya. Di Amerika Serikat orang mengenal apa yang disebut dengan Thanksgiving Day. Di Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta, orang mengenal peristiwa-peristiwa budaya seperti, Sekaten, Tedhak Siti, Kenduren dan sebagainya.

Dalam peristiwa-peristiwa budaya semacam itu penerjemah juga akan menjumpai banyak kesulitan dalam menerjemahkannya karena dalam peristiwa-peristiwa budaya seperti itu akan ditemukan istilah-istilah budaya yang tidak akan dapat ditemukan di negara lain.

3.4. Bangunan Tradisional (hal. 46)
Biasanya di setiap negara sekarang ini banyak bangunan yang sama dengan bangunan yang terdapat dinegara lain. Fenomena semacam ini barangkali karena adanya film-film di T.V. Namun demikian di masing-masing negara masih banyak terdapat bangunan yang mempunyai ciri khas lokal, dan tidak terdapat di negara atau di daerah lain.

Misalnya di Cina terdapat apa yang disebut Tembok Cina, Kota Larangan, sedang di Thailand terdapat apa yang disebut Pagoda, di Mesir dapat ditemui Pyramid. Di Sumatra Barat ada rumah yang disebut Rumah Gadang, dan di Jawa, khususnya di Sala dan Yogyakarta, ada bangunan atau bagian dari bangunan yang disebut Pendhopo Agung, Gandhok, Gadri, dan sebagainya. Bangunan semacam itu dalam penerjemahan menimbulkan banyak kesulitan.

3.5. Kekerabatan (Kinship) (hal. 46)

Setiap bangsa di suatu negara mempunyai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini tampaknya sederhana bagi yang memilikinya. Tetapi yang tampaknya sederhana itu ternyata menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah karena sistem kekerabatan ini berbeda dari bangsa atau etnik yang satu dengan yang lain.

Di sistem kekerabatan orang Jawa dikenal istilah bapak dan ibu. Penyebutan bapak dan ibu tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan karena penyebutan bapak dan ibu itu tampaknya bersifat universal. Tetapi di dalam sistem kekerabatan etnis Jawa sangat rumit (complicated) karena di atas bapak dan ibu, ada pak/bu-gedhe, mbah/eyang, mbah/eyang buyut, mbah/eyang canggah, mbah/eyang wareng, mbah/eyang udheg-udheg siwor, dan sebagainya. Di bawah bapak/ibu terdapat bu/pak cilik. Masih ada lagi sesebutan ipe dan pripean. Sedangkan dalam bahasa Inggris kita hanya mengenal kata-kata father, mother, aunt, uncle, brother, sister, grandfather/mother, grandparent(s), grandson/daughter, great-grandfather/mother, great-great-grandfather/mother, great-grandson/daughter, great-great grandson-daughter dan sebagainya yang tentu saja sistem kekerabatan antara kedua bangsa itu tidak sama. Ini jelas akan menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah.

3.6. Kata Ganti (hal. 47)

Kata-kata seperti: I, you, he, she, it, we, dan they tampaknya juga tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Tetapi kata ganti he dan she sering juga menimbulkan masalah. Kata ganti he dan she menunjukkan jenis seks yang berbeda, ialah jenis seks laki-laki dan perempuan, sedangkan perbedaan itu tidak terdapat dalam sistem bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius.
Dalam bahasa Indonesia kata he, dan she dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: dia/ia, beliau, bapak. Kesulitan akan timbul manakala seorang penerjemah harus menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Masalah seperti ini akan timbul apabila seorang penerjemah harus menerjemahkan kata you dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia apalagi ke dalam bahasa Jawa karena kata you mempunyai padanan (equivalent) dengan engkau, kamu, anda, saudara, dan bapak (Soemarno, 1988: 32) sedangkan kata itu mempunyai padanan dengan kowe, sliramu, sampeyan, penjenengan, dan penjengan dalem yang penerapannya lebih rumit terutama apabila ditinjau dari kepantasannya atau status dari lawan bicaranya.

Dalam sistem Kata Ganti bahasa Jawa tidak dikenal kata they atau mereka. Kasus semacam ini sedikit banyak akan menimbulkan kesulitan bagi penerjemah. Bagaimana seorang penerjemah memecahkan masalah semacam ini.

3.7. Undha-Usuk Basa (speech levels) (hal. 48)

Bahasa Jawa khususnya mempunyai apa yang disebut dengan ‘Undha Usuk Basa. Menurut Sudaryanto Bahasa Jawa memiliki empat varian bahasa yang digunakan dalam Undha Usuk Basa (dalam Samsuri, 1991: 1). Keempat varian itu ialah ngoko, krama, ngoko alus, atau krama alus. Sedangkan Sriyasa menyatakan bahwa di kota Sala dan Yogyakarta orang Jawa menggunakan tiga varian dalam kehidupan berbahasa sehari-hari, ialah basa ngoko, basa madya, dan basa krama. Masih menurut Sriyoso dalam bahasa Jawa sebenarnya terdapat kurang lebih ada 13 varian. Orang yang menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari harus menguasai bahasa itu dan dapat memilih varian yang tepat apabila ia berbicara dengan menggunakan varian-varian tersebut. Penggunaan varian-varian bahasa ini sangat rumit sehingga pada jaman ini banyak orang Jawa sendiri, terutama yang muda, tidak dapat menggunakannyadengan benar.

Fenomena di atas akan menimbulkan banyak kesulitan apabila seorang penerjemah menerjemahkan suatu dialog dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa. Seorang penerjemah akan dihadapkan dengan masalah pemilihan kata dan varian yang mana yang digunakan. Ini adalah masalah yang tidak mudah dilakukan seorang penerjemah.

3.8. Idiom (hal. 49)

Idiom juga sarat dengan muatan budaya dan variasi idiom sangat luas. Feare mengatakan, idiom is an expression which has a special meaning, and this meaning cannot be understood completely by looking at the individual words in the idioms (1980: xvii). Feare memberikan contoh idiom seperti: go over, die down, break in, dan sebagainya. Orang lain mungkin memasukkan ungkapan seperti to burry the hatchet, dan to beat about the bush sebagai idiom.

Menerjemahkan idiom bukanlah pekerjaan yang mudah. Pertama-tama seorang penerjemah harus mampu mengenali atau menentukan apakah suatu ungkapan tertentu itu adalah sebuah idiom atau bukan, seperti yang dikatakan oleh Baker sebagai berikut, As far as idioms are concerned, the first difficulty that a translator comes across is being able to recognize that s/he is dealing with an idomatic expression (Baker, 1995: 65). Kemudian setelah seorang penerjemah dapat mengenali bahwa ungkapan itu dapat dikatagorikan sebagai idom barulah dia harus mampu menentukan makna idiom itu. Kemudian dia mencarikan padanannya dengan tepat.

IV. PENUTUP

Setelah membaca makalah ini para peserta Konferensi dan pembaca makalah ini akan menyadari betapa sulit dan rumitnya penerjemahan itu. Sebaiknya penerjemahan sebuah buku bahasa sumber tidak dilakukan oleh seorang saja tetapi oleh sebuah tim yang benar-benar kuat sehingga hasil terjemahan itu benar-benar bagus dan dapat dipercaya. Tim itu terdiri dari beberapa pakar dalam bidang-bidang tertentu yang dapat mendukung terselesaikannya penerjemahan itu.


DAFTAR PUSTAKA

Baker, Mona,1995, In Other Words, Routledge, New Fetter Lane, London, USA, and Canada
Bell, Roger T,1991, Translation and Translating, Longman Group UK Limited, Essex, England

Duff, Alan, 1981, The Third Language, Recurrent Problems of Translation into English, Pergamon Ltd., Oxford, England
Feare, Ronald, 1980, Practice with Idioms, Oxford University Press, England
Nida, E. A, 1975, Language Structure and Translation, Stanford University Press, Stanford, California
Nida, E.A., 1964, Toward A Science of Translating, Leiden, E. J. Brill, Netherlands
Samsuri, 1991, Kemampuan Pembicara Bahasa Jawa sebagai dasar Tata Bahasa Jawa, Kongres Bahasa Jawa, Semarang
Snell – Hornby dalam Nord: 2001: 23, Translating as a Purposeful Activity, St. Jerome Publishing, Manchester, United Kingdom
Soemarno, Thomas, 1997, Proses dan Hasil Terjemahan, Haluan Sastra Budaya, No. 32, TH XVI, Oktober 1997
-------, 2001, The Problems of Culture in Translation, dalam Buku Kenangan: Musyawarah Nasional IV dan Seminar Nasional II, Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia, 24-26 September 2001, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
-------, 1988, Hubungan antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan, Jenis Kelamin, Kemampuan Berbahasa Inggris, dan Tipe-Tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, Fakultas Pascasarjana, IKIP Malang (Disertasi)
Soepomo Poedjosoedarmo, Dr., 1975, Kode dan Alih Kode, Lokakarya Penyusunan Pedoman Tata Bahasa Indonesia dan Seminar Linguistik, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Bandung Indonesia
Sriyasa, 1980, Pemakaian Bahasa Jawa di Surakarta: Penataran Linguistik Kontrastif dan Linguistik Historik Komparatif, Tugu, Bogor
URL: http:// accurapid. Com/journal/22 delight. Htm Last updated on: 10/31/2002 12:19:43

No comments: