Thursday, February 18, 2010

Kamus Echols-Shadily Salah?


Zahra, mahasiswi berparas lembut, mencemberuti Kamus Inggris-Indonesia susunan John M Echols dan Hassan Shadily. Pasalnya, kamus itu tak memasang lema swidden, istilah yang dia temukan saat membaca sebuah teks geo-antropologi. Sebuah kamus memang tak mungkin memuat semua kata yang beredar dalam masyarakat. Kamus Echols-Shadily, menurut pengantarnya, ”...mencakup sebagian besar kata dan ungkapan Inggris yang paling umum dipakai di Amerika”. Artinya, masih ada kata dan ungkapan Inggris lain yang ditepis karena tak biasa digunakan di negeri itu.

Suatu kamus bahasa asing, termasuk Kamus Echols-Shadily (KES), tentu merefleksikan latar kultural penyusunnya. Kata swidden, tentang perladangan (berpindah), mungkin tak penting bagi kebanyakan orang Amerika yang bukan peladang tanah kering. Swidden ”hanya” merepresentasikan partikularisme budaya atau secuil wilayah geografi tropik yang jauh dari pengalaman hidup mereka. Sebaliknya, sebagian masyarakat kita masih bergumul di lahan tandus untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Antropolog Barat lazim menggunakan shifting cultivation sebagai konsep perladangan.

KES ternyata juga menyimpan soal lain, yaitu pilihan ejaan pada ”kesusastraan” dalam penjelasan lema literature; dan ”tanpa keritik” untuk uncritical. Pengejaan ini mengingatkan kita pada pendirian Sutan Takdir Alisjahbana dalam mempertahankan bunyi /ee/ yang terjepit di antara dua konsonan sehingga lahir, misalnya, sastera dan Inggeris, bukan sastra dan Inggris. Perbedaan itu akhirnya hanya dianggap sebagai ragam manasuka meski pilihan yang dianjurkan adalah versi terakhir. Begitu pilihan dijatuhkan, penerapannya harus konsisten.

Namun, konsistensi itu kacau dalam KES ketika mengeja kata serapan dari beberapa kosakata Inggris yang berakhir -ive. Contoh: deductive dan inductive diserap menjadi ”deduktip” dan ”induktip”, bukan ”deduktif” dan ”induktif” sejalan pedoman pengindonesiaan nama dan kata asing Pusat Bahasa. Demikian pula active menjadi ”aktip”, tetapi anehnya passive diserap ”pasif”, lalu passively menjelma ”dengan pasip”. Jelas, ada ketidaktaatasasan dalam ejaan serapan.

Yang mengganggu, KES memilih kosakata Indonesia yang berakibat salah makna. Itu terlihat dalam lema alter yang diperikan ”merubah” dan ”mengubah”; dengan contoh kalimat: I will have to alter this dress, ”Saya harus merubah baju ini”. Artinya, menyulap baju jadi rubah alias serigala. Rupanya, terjadi kebingungan membedakan kata dasar ubah (lain, beda) dan rubah (jenis serigala). Hal serupa muncul dalam to make over dan to make a change, keduanya diterangkan ”merubah”. Kebingungan makin menjadi-jadi dalam penjelasan lema vary: ”merobah”, ”merubah-rubah”, ”mengubah-ubah”.

Kamus Echols-Shadily yang dipeluk Zahra di taman sastra itu bertarikh 2005 (cetakan ke-26); sama isi dengan kamus serupa milik saya terbitan 1976 (cetakan pertama). Maka, setakat kini, 34 tahun sudah kamus itu menjadi harta karun milik saya. Sebuah piranti kultural yang andal, tetapi juga perlu ditilik ulang di sana-sini untuk edisi mendatang.

KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,Jumat, 19 Februari 2010 | 03:15 WIB

No comments: