Blog bagi Alumni, calon Alumni, Dosen pencetak alumni Sastra Inggris, UNS, Solo.
Website: http://sasing.site40.net
Mailing list: alumni_sastra_inggris_uns@yahoogroups.com
Saturday, October 10, 2009
Janet De Neefe Penggagas Ubud Writers and Readers Festival
Janet De Neefe bersama sahabatnya, Heather Curnow, menggagas sebuah festival internasional bernama Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2004.
Meski pelaksanaannya dua tahun setelah tragedi bom Legian, festival ini, kata Janet, memang dimaksudkan sebagai ajakan untuk bangkit bersama-sama melawan tindakan-tindakan kekerasan. Mengapa sastra? Padahal Ubud selama ini lebih dikenal sebagai kantong awal pengembangan seni rupa ”tradisional” bergaya Ubud.
Janet secara tangkas memberi jawaban, ”Sastra jauh lebih berani melawan dibandingkan seni rupa.”
Keberanian itulah yang dipuji pemenang nobel kesusastraan asal Nigeria, Wole Soyinka, yang hadir dalam UWRF ke-6 tahun ini. ”Kekeraskepalaan Janet yang membuat saya hadir di sini,” tutur Wole.
Janet tergolong perempuan nekat. Pelaksanaan UWRF yang bernaung di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati yang ia dirikan bersama suaminya, Ketut Suardana, hanya mengandalkan para sukarelawan. Padahal, wadah ini tak kurang mempertemukan ratusan penulis dan pembaca dari berbagai belahan dunia.
”Kalau mengundang para penulis terkenal dari luar biasanya saya memakai agen,” kata Janet. Dan asal tahu, Janet membayar sendiri seluruh perongkosan untuk mendatangkan para penulis dari luar itu. ”Mungkin banyak yang lihat ada sponsor, tetapi itu tidak sepadan dengan apa yang telah dikeluarkan. Dan saya akan terus...,” tekad Janet.
Bahkan, ia terus-menerus akan meningkatkan jumlah partisipasi para penulis Tanah Air. ”Ada ide meluaskan gagasan ini tidak hanya di Ubud, mungkin nanti juga Borobudur atau lainnya,” kata perempuan yang bangga mengenakan kebaya Bali ini. Menurut dia, kemasyhuran nama sebuah tempat sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk menghadiri sebuah perhelatan. Dan, lagi-lagi Ubud ibarat tiket tambahan yang menjadi jaminan bagi para penulis untuk hadir dalam UWRF.
”Tentu saja nama Ubud sangat berpengaruh. Dan sesuatu yang penting di sini bagi Bali yang sedang mengalami krisis kepercayaan keamanan setelah bom: orang-orang datang, hadir di sini,” kata Janet.
Ubud memang bukan satu-satunya tempat yang menjadi simpul kebangkitan Bali pascabom. Tetapi, bahwa UWRF begitu banyak memperoleh dukungan itu pertanda ada daya magnet yang begitu kuat sebagai penarik.
Flash back
Saat mengunjungi Ubud pada usia 15 tahun, Janet De Neefe (50) tak pernah berpikir apalagi bercita-cita menjadi warga Ubud. Ia hanya pelancong yang mengagumi Bali setelah membaca brosur-brosur wisata.
Semuanya berubah ketika ia bertemu Ketut Suardana (51), lelaki asli Ubud, Bali, pada kunjungan berikut. Cintanya benar-benar tertambat. Janet, Janet, alam Ubud jadi semakin romantis bahkan seksi….
Sewaktu memutuskan menikah dengan Ketut pada 1989, Janet merasa seperti terjun ke dalam kolam. ”Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi saya tahu, saya bahagia karena mencintai daerah ini,” ujar penggagas dan Direktur Ubud Writers and Readers Festival ini.
Malam sudah beranjak menuju titik puncak. Saat kami masih berbincang, Rabu (7/10), jalan-jalan di depan Casa Luna, restoran bercita rasa Spanyol dengan sentuhan Bali, itu mulai sepi. Mata Janet sedikit memerah. Kelihatan ia sangat lelah setelah seharian mondar-mandir mempersiapkan pembukaan festival tahunan yang dihadiri ratusan penulis dari berbagai negara itu.
Ubud, bagi Janet, ibarat desa impian di mana ia mendapatkan apa yang disebut kehangatan keluarga. Itulah sebabnya pada awal tahun 1990-an, ia secara total memutuskan menjadi warga negara Indonesia. ”Ibu saya di Melbourne yang tak habis pikir. Dia bilang nanti kalau sakit bagaimana, kalau begini bagaimana,” tutur Janet masih dengan senyum yang mengembang dari bibir tipisnya itu.
Perempuan kelahiran 9 Juli 1959 ini mengakui tidak mudah memutuskan berpindah kewarganegaraan. ”Tetapi, buat saya menjadi orang Indonesia itu penuh sensasi…,” katanya.
Sensasi itu, misalnya, pada suatu hari ia bepergian ke Selandia Baru. Ketika tahu ia memegang paspor Indonesia, petugas imigrasi setempat secara tiba-tiba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menurut dia bodoh. ”Mereka tanya mau berapa lama di sini, apa isi tas saya, berapa bawa uang… dan begitu terus. Padahal kalau saya pegang paspor Australia pasti tak akan pernah ditanya, ha-ha-ha…,” ujar Janet.
Janet justru menikmati saat-saat penuh sensasi itu. Ia merasa perjalanannya ke berbagai tempat jadi begitu mengesankan. Di luar alasan itu, baginya cukup penting menjadi Indonesia karena ia bersama suaminya, Ketut Suardana, memiliki beberapa bisnis restoran, toko roti, dan bar.
Cita rasa
Bisnis restoran yang dijalankan Janet bukan sekadar mengeduk keuntungan. Perempuan yang memang gemar melakukan petualangan memasak ini selama bertahun-tahun melakukan eksperimen ”mengaduk-aduk” cita rasa masakan Bali dengan Barat. Hasilnya tidak saja dipresentasikan di Casa Luna dan Indus Restaurant miliknya, tetapi juga dalam buku berjudul Fragrant Rice yang diterbitkan tahun 2003.
Buku ini berisikan resep-resep masakan Bali dan Indonesia beserta cuplikan peristiwa pertemuannya dengan sebuah makanan. Janet juga menuliskan hasil eksperimentasinya terhadap cita rasa sebuah menu masakan. ”Saya biasa memasak dengan orang-orang kampung. Dan tahu, lidah saya sudah sungguh Bali, biasa dengan rasa pedas dan asin…,” katanya.
Kecintaan dan ketotalan menceburkan diri dalam ”kolam” bernama Bali membuat Janet ingin menjadi manusia Bali dalam pengertian paling paripurna. Ia lebih total dibandingkan romantika yang dijalani Rudolf Bonnet, si pengembara yang mengajari orang-orang Ubud melukis modern dalam kelompok Pita Maha. Ketika masih hidup dan sesudah kembali ke Belanda, Bonnet menulis wasiat agar jika meninggal jasadnya dikremasi dan abunya ditaburkan di tanah Bali.
Janet lebih dari itu. Ia memilih benar-benar menjadi bagian dari Ubud. Bahkan ia menyodorkan jalan lain, yang tidak terpikirkan siapa pun, dengan menggelar perhelatan para penulis dan pembaca berskala internasional di Ubud.
”Di sini saya benar-benar memulai jadi manusia dan di sini pula saya ingin menyelesaikan segala sesuatunya,” tutur ibu dari Dewi, Khrisna, Laksmi, dan Arjuna ini. Janet bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Banjar Ubud Kelod, Kecamatan Ubud, Gianyar. Sebagai warga banjar, Janet dengan senang hati mengikuti seluruh prosesi ritual yang nyaris setiap hari digelar di Ubud. ”Kalau saya sudah lihat ada upacara, sensasinya berhari-hari akan saya ingat,” kata dia.
Ubud memang seperti desa yang tak henti diberkati para dewa. Ia senantiasa memanggil para petualang seperti Rudolf Bonnet, Walter Spies, Antonio Blanco, Arie Smit, Janet De Neefe, serta banyak lagi para pelancong yang akhirnya menjadi warga setempat.
”Ada sinergi antara alam, budaya, dan tradisi yang membuat saya tidak bisa bilang apa-apa lagi, kecuali tetap di sini,” tutur Janet. Mungkin itu juga berkah dari dewa, Janet, Janet.…
sumber: http://cetak.kompas.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment